Lihat ke Halaman Asli

Munir Sara

TERVERIFIKASI

Yakin Usaha Sampai

Antara China dan Indonesia

Diperbarui: 17 Januari 2023   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (sumber : istimewa)

Buku Prof Kishore dari Lee Kwan Yew University, berjudul Has China Won? menarik untuk dicermati. Apakah China akan lebih unggul dari rivalnya; AS?

Secara nominal, GNI/Gross National Income China memang di bawa U.S. Namun purchasing power balance atau paritas GNI China sejak 2020, menyalip AS.
 
Berdasarkan data Bank Dunia, paritas GNI China 2020 sebesar US$ 27,06 T, sementara U.S sebesar US$ 23,39 T.
 
Seturut itu, rata-rata pertumbuhan GDP China hingga 2025 diperkirakan tumbuh 5,2% dan ke tahun 2030 dengan rata-rata pertumbuhan 4,2%.
 
Size ekonomi China akan tumbuh sebagai raksasa baru dalam konstelasi perekonomian dunia dengan Open-Door Policy. Namun China akan alami problem dilematik dari sisi demografi.
 
Tentang China ini ada soal yang menarik, sebagaimana yang ditulis Profesor  Keiichiro Oizumi dari Kyoto University dengan judul : Demographic Dividend and China's Economic Development-The Implications of Demographic Transition for the Reform and Open-Door Policy.
 
Bagian menarik dari tulisan Prof Oizumi adalah, dividen demografi China berakhir pada tahun 2015. Dalam rentang waktu tersebut, GDP China tak akan mencapai US$ 3000 (dibandingkan dengan Jepang yang sudah mencapai US$ 27.000).
 
Dan saat ini, GDP perkapita Jepang US$ 34.960,64 dan China US$ 12.556,33. Yang berarti pertumbuhan GDP perkapita Jepang jauh lebih baik dari China. Merefleksikan produktivitas China menurun, seiring susutnya bonus demografi.
 
"China's demographic dividend will end around 2015. Its per capita GDP is unlikely to reach $3,000 before that time (compared with approximately $27,000 for Japan)," demikian papar Prof Oizumi. Lantas apa penyebabnya?
 
Dalam fase puncak demografi hingga 2015, ekonomi China tumbuh double digit. Namun dalam rentang waktu tersebut, sektor industri di China tak cukup menyerap >10 juta pekerja baru tiap tahun.
 
Industri keuangannya tumbuh pesat pasca Open-Door Policy, namun cenderung padat modal. Kondisi ini menyebabkan terbatas penyerapan tenaga kerja.
 
Dari struktur ekonomi China, terlihat bahwa, sektor industri (manufacturing, construction, mining dan utilities-nya), berkontribusi 39% terhadap PDB China. Sektor kontribusinya lebih dari 50% terhadap GDP China adalah service sectors/sektor jasa.
 
Dua sektor ini (sektor industri dan jasa) memiliki karakteristik tuntutan yang sama tapi tak serupa. Bila subsector seperti infrastruktur dan tambang, mungkin membutuhkan buruh kasar yang low skill. Namun tidak dengan sektor jasa, yang membutuhkan tenaga terampil dan terlatih.
 
Kompleksitas pun terjadi, bila pergeseran industri---mengarah ke hightech. Membutuhkan soft skill yang lebih tinggi lagi. Dengan struktur ekonomi yang demikian, maka sektor Industri dengan karakteristik yang hightec, tak akan mampu meng-absorb pekerja di level low skill yang memenuhi pasar tenaga kerja.
 
Dengan demikian, maka ada dua hal kompatibel, yang menyebabkan kenapa China mengirim tenaga kerjanya ke luar. Pertama, dengan tumbuh pesatnya industri keuangan dan digitalisasi di ekosistemnya, membuat China kian getol membuat likuiditasnya powerfull.
 
Dengan kapasitas modal yang besar, ekspansi modal dan investasi akan dilakukan jor-joran di negara luar, dengan perjanjian penggunaan pekerja asal China (low skill khususnya), yang tidak terserap di pasar tenaga kerja China.
 
Kedua, menarik apa yang ditulis Profesor  Oizumi tentang Open-Door Policy. China makin membuka diri dan bergerak keluar, dengan strategi kebijakan outward working. Kebijakan multinasional One Belt One Road (OBOR), adalah bagian penting strategi kebijakan outward working.
 
Namun China akan menghadapi dilemma demografi sebagaimana ulasan Prof Oizumi, mengalami aging society, struktur ekonomi yang less jobs creation. Terjadi  "the growth rate of the productive age population has already started to decline." Penurunan populasi usia produktif.
 
Berkaca pada China, Indonesia mengambil pelajaran penting tentang bonus demografi. Apa itu, meningkatkan daya saing usia produktif, agar di tahun 2030-2045, bonus demografi tersebut memberikan efek berganda terhadap ekonomi.
 
Merubah arah industri, dari yang less jobs creation menjadi cenderung padat karya.  Termasuk modal asing yang masuk ke RI, dari manapun, diarahkan pada padat karya dengan menempatkan TK domesting sebagai prioritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline