Bapak Kasim Subang adalah keluarga saya di Pantar Barat, desa Ilu. Kami juga bertetangga. Dia petani ladang. Hasil pertanian ladang cuma diperoleh setahun sekali. Itu pun sebatas untuk kebutuhan makan minum.
Saya pernah menulis tentang bapak Kasim, dibaca ribuan orang di rubrik Kompasiana. Ia menginspirasi banyak orang-orang kecil senasib.
Tak ada sumber income tetap. Sesekali ia mengolah kopra. Tapi karena pasar yang terbatas dan harga yang tak menentu, membuatnya tidak rutin menimbang komoditas ini.
Sejak tahun 2010, pasar rumput laut bergairah di Alor, khususnya pulau Pantar. Kala libur ke kampung, saya lihat bapak Kasim, Paman Miteng dan warga sekitar, bergeliat menanam rumput laut.
Sepanjang teluk Barnusa menuju teluk Bugeng Wowang, tanaman rumput laut berjejal. Saban pagi dan sore, Bapak Kasim wara wiri membersihkan aneka sampah di sekitar area tanaman RL. Begitulah rutinitasnya.
Untuk menanam rumput laut, ia hanya butuh modal tali, pelampung dan bibit. Karena arena tanaman tak jauh dari rumah, maka ia tak butuh bahan bakar. Hanya bermodal sebuah sampan kecil.
Alat dan bibit itu kadang ia peroleh dari program bantuan, atau usaha sendiri. Yang jelas, setiap masa panen, senyumnya merekah. Ia pun bisa lega, mendulang cuan dari hasil bertani rumput laut. Dari sinilah, ia menyekolahkan anak-anaknya.
Suatu waktu, kala ia datang ke pesta wisuda anaknya di UIN-Bandung, pak Kasim bercerita, dari hasil rumput laut itulah, ia bisa menguliahkan empat anaknya. Dan sekarang keempatnya sudah sarjana.
"Ama, kame mulla apa kia ke bire ire kia bisa kuliah sakali. Ti gute seng talla ga ku? Harapan ba lagara le." Dengan menanam rumput laut, baru keempat anaknya bisa kuliah. Mau ambil uang dari mana kalau bukan tanam rumput laut.
Kini keempat anaknya itu sudah sarjana. Ada Fathur (guru), Burhan (wirausaha), Sita (pegawai honorer kecamatan) dan Bineng (guru Bahasa Inggris).