Lihat ke Halaman Asli

Munir Sara

TERVERIFIKASI

Yakin Usaha Sampai

APBN 2023 Baru Diketuk, Rupiah Sudah Gepeng

Diperbarui: 1 Oktober 2022   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi nilai rupiah melemah. Sumber: Kompas.com/JITET

Harapan Bank Sentral AS jinak bagaikan merpati makin jauh panggang dari api. Pepatah Minang mengatakan, bagaikan "Membangkik Batang Tarandam." Orang Madura pun bilang "solid" maksudnya sulit ! The Fed Tetap hawkish sebagaimana gelagat burung elang (Hawk), mengintai dan menerkam ! Apalagi IMF adalah wasit moneter dunia yang buruk !

APBN 2023 baru diketuk Kamis, 29/9/2022, dengan asumsi kurs rupiah Rp.14.800/USD, eh kurs rupiah sudah loyo Rp.15.200-an/US$ saat closing bell market 29/9/2022. Mata uang garuda, berpeluang terjun bebas, bila flight money sulit dibendung. Bahkan konsensus menyebut, rupiah bisa menyentuh level psikologis baru Rp.15.400/USD.

Tanda-tanda buruk pada pasar ekuitas Indonesia sudah tampak. Terlihat dari data Credit Default Swap/CDS Indonesia (29/9) untuk SBN tenor 5Y sebesar 167,34 poin atau terkerek 72,60% (CDS <100 menggambarkan risiko yang rendah). Makin tinggi CDS, menggambarkan persepsi risiko di pasar Indonesia makin tinggi.

Tempo hari dalam pertemuan FOMC/Federal Open Market Meeting, yang mendudukan elit The Fed, Jerome Powell bilang, AS butuh menaikan pengangguran 4% untuk menekan inflasi pada sasaran The Fed, 2,2%. Ini menandakan, Kurva Phillips masih bekerja dalam ekonomi AS.

Dalam model ekonomi makro, Kurva Phillips, menggambarkan trade off antara inflasi dan pengangguran. Bila ingin membatasi inflasi, maka pengangguran dibiarkan meningkat. Dus, dalam menganalisa kurva Philips, dikenal pula adanya sacrifice ratio/rasio pengorbanan. Bila ingin menurunkan inflasi, maka ada PDB yang perlu dikorbankan. Ada output yang hilang terkait-- spiral harga upah.

Pada Agustus 2022, Biro Statistik AS merilis inflasi masih terkaram di 8,3%. Data inflasi aktual tersebut, di luar ekspektasi pasar (bahwa inflasi melandai di kisaran 7%). Pasal inflasi AS yang masih jauh dari sasaran The Fed itulah, policy rate AS tetap hawkish hingga 2023.

Dus, bila FFR/Fed Fund Rate dikerek, maka pembiayaan dunia usaha mengalami kekeringan likuiditas, sejurus itu, penurunan output akan berdampak pada PHK, setali tiga uang, daya beli terkoreksi, dan inflasi diharapkan termoderasi. Amerika hanya butuh bantalan sosial. Joe Biden sudah siapkan BLT Rp/20 juta/warga AS. Langkah-langka itulah yang tengah berada dalam teritori kebijakan ekonomi AS.

Kebijakan moneter AS itu bukan tanpa resiko, karena spectrum spillover-nya meluas keluar AS. Terutama emerging countries. Policy rate AS itu membuat AS treasuriy makin manis bagaikan gula Jawa. Selain itu, US dollar sebagai hard currency atau safe haven assets, membuat likuiditas yang parkir di emerging countries hengkang.

Investor di pasar ekuitas, kalau dikasih gula sama pare, tentulah dia memilih gula nan manis. Analogi semacam itulah, mengandaikan capital outflow saat ini. Selain hunting cuan, pilihan mengaman aset pada hard currency adalah pilihan yang tepat saat ekonomi mengalami volatile yang tinggi.

Ekonomi dunia, wal khusus negara berkembang, dikepung oleh dua badai sekaligus, pertama supply shock dan demand yang melorot. Supply shock karena perang dan demand shock karena policy rate yang hawkish. Dari Jokowi, Sri Mulyani hingga opung Luhut, secara kompak katakana "Indonesia tahun 2023, bagikan kapal di mulut badai."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline