Lihat ke Halaman Asli

Munir Sara

TERVERIFIKASI

Yakin Usaha Sampai

RAPBN 2023 Tanpa Skema Covid-19

Diperbarui: 7 Juni 2022   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Sumber: Thinkstock via Kompas.com

Saat ini, pemerintah dan DPR tengah membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) tahun  2023. RAPBN Tanpa skema mitigasi Covid-19

APBN 2023 adalah transisi dari APBN sebagai counter cyclical policy menjadi pro-cyclical policy. Dalam kondisi resesi, pemerintah melakukan ekspansi fiskal dan memberikan insentif ke dunia usaha (counter cyclical policy)

Sementara, dalam kondisi normal, pemerintah akan memperketat kebijakan fiskal--mendisiplinkan fiskal, serta mengurangi insentif (pro cyclical policy). Kendati fungsi APBN sebagai shock absorber (peredam kejut) masih tetap, tapi dengan dosis stimulus yang lebih terbatas. 

Ibarat sepeda motor, Shock absorber sebagai alat menstabilkan benturan, bila kendaraan menabrak gundukan di jalan. Sehingga tidak limbung dan jatuh terkusruk. Seperti itulah fungsi APBN (sebagai shock absorber); alat untuk menahan berbagai risiko shock ekonomi akibat pademi Covid-19 dan ketidakpastian global. 

Sesuai UU No 2 Tahun 2020 Tentang PEN, maka tahun 2023 adalah periode disiplin fiskal. Toleransi defisit APBN di bawah 3% terhadap PDB sesuai UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, kembali berlaku. 

Dalam pagu indikatif, porsi belanja kesehatan mulai dikurangi. Termasuk insentif pajak untuk importasi Alkes--ditiadakan. Belanja terkait penanggulangan Covid-19 turun cukup dalam--mendekati Rp.0. Kucuran dana PEN pun sudah berakhir di tahun depan. 

Demikianpun likuiditas pumping oleh Bank Sentral (dalam bentuk burden sharing) akan berakhir di tahun 2022. Sepanjang 2020-2022, BI terlibat membeli SBN di private placement, sebagai bentuk sokongan terhadap fiskal dalam rangka PEN.  

Dengan berbagai dinamika eksternal saat ini, kebijakan suku bunga rendah sebagai monetary policy, bisa dibatasi oleh kebijakan suku bunga bank sentral negara-negara utama yang terkerek. Disebabkan oleh inflasi yang melesat >7% pada negara-negara kakap tersebut.  Tentu saja ini resisten dengan pemulihan ekonomi di emerging countres, termasuk Indonesia. 

***

Lantas, apakah ekonomi sudah benar-benar pulih? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline