Lihat ke Halaman Asli

Munir Sara

TERVERIFIKASI

Yakin Usaha Sampai

Tantangan Ekonomi 2022 dan Harapan Ekonomi 2023

Diperbarui: 23 Mei 2022   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Munir (Foto: dokpri)

Tulisan ini dibuat, sepanjang perjalanan dengan commuter line Jakarta-Bogor. Tentu terkait kondisi aktual saat ini setelah membaca hilir mudik berita. Berikut catatan dan pandangan penulis 

Pemerintah dan DPR akan bahas APBN-P 2022 dan RAPBN 2023. APBN-P dilakukan, karena berbagai kondisi aktual meleset dari kondisi makro ekonomi aktual. Baik disebabkan oleh inflasi global dan krisis geopolitik.  

Salah satu adjustment point APBN-P 2022 adalah terkait ICP (Indonesian Crude Price). Harga ICP mengalami penyesuaian dari US$ 63/barrel menjadi US$ 100/barrel. 

Adjustment poin ini, akan mengerek pendapatan negara menjadi Rp.420,1 triliun pada 2022 dari outlook sebelumnya yang sebesar Rp 1.846,1 triliun (menurut Menteri Keuangan). Terkereknya pundi-pundi pemerintah, adalah sumber untuk menekan defisit APBN terhadap PDB sebesar 3%. 

Tentu saja DPR menyetujui, dengan harapan, mengkerutnya defisit, meniscayakan beban fiskal lebih berkurang.  Memungkinkan ruang fiskal lebih fleksibel untuk belanja produktif. 

Kendatipun demikian, ada catatan yang perlu diperhatikan, terkait shortage yang terjadi pada lifting Migas. Kendati ICP dikerek (USS 100/barrel), namun bila lifting masih shortage, harapan mempertebal pundi-pundi negara dari sektor hulu Migas mengalami kendala. 

Hingga Triwulan-1 2022,  lifting minyak bumi yang ditarget mampu mencapai 703.000 barrel oil per day (BOPD), terbukti hanya mampu direalisasikan sebanyak 611.700 BOPD. Sedangkan lifting gas bumi yang diharapkan mencapai 5.800 million standard cubic feet per day (MMSCFD) juga hanya tercapai 5.321 juta MMSCFD

Berangkat dari data shortage lifting Migas Triwulan-1 2022 tersebut, maka saya memahami, beban kerja pemerintah akan lebih berat dalam meningkatkan penerimaan dan menekan defisit. Khususnya dari sektor hulu Migas. 

Dengan merem kenaikan energi subsidi pada APBN 2022, meniscayakan tekanan terhadap beban subsidi dalam APBN. Sementara bila lifting Migas shortage, maka dua hal ini menjadi faktor pengurang target penerimaan. Realisasi defisit APBN terhadap PDB di bawah 3%, akan mengalami kendala

Kendati DPR akan mendukung pemerintah dalam melakukan adjustment terhadap APBN-P 2022, dorongan agar pemerintah melalui operator, meningkatkan produksi hulu Migas, diperlukan. Meskipun, untuk ini, tidak semudah membalik telapak tangan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline