Lihat ke Halaman Asli

Munir Sara

TERVERIFIKASI

Yakin Usaha Sampai

Saya Ingatkan Bahaya Politik Simbol!

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13915394501940843771

[caption id="attachment_293834" align="aligncenter" width="450" caption="Kekumuhan politik simbol (sumber foto : www.berita.com)"][/caption] Demokrasi pasca negara orde baru, memberi jalan bagi kuatnya politik simbol. Ini gejala tumpahan euforia politik pasca aspirasi politik dikekang selama orde baru berkuasa. Maka tak heran, besarnya biaya politik simbol, telah menggeser kualitas dan substansi politik menjadi ajang pertarungan dan perhelatan simbol.

Semisal pertarungan baliho, poster, stiker, kartu nama dan sejenis. Ada caleg yang sampai menggadai sertifikat rumah dan maskawain bininya untuk cetak atribut kampanye. Ini luar biasa dan masih bagian intim dari tumpahan euforia.

Coba dikali bagi setiap caleg DPRD hingga DPR-RI di masing-masing partai, berapa triliun sudah anggaran yang dihambur untuk onkos politik simbol macam ini? Tentu tak sedikit. Kalau seluruh uang itu tak dipakai ongkos atribut, dan cukup untuk belanja sosial saja, mungkin pemilu bisa menjadi momentum revolutif penurunan angka kemiskinan hingga sekian persen secara nasional.

Namun sayang, sistem politik saat ini belum mampu menyajikan kualitas politik bernilai pada rakyat. Maka tak heran, baliho, poster dan atribut kampanye sejenis, hanya menjadi sampah-sampah simbol yg berserahkan di musim pemilu dan pascanya. Malah pasca pemilu, sisa-sisa atribut itu menjadi sampah anorganik yang mencemarkan lingkungan.

Baliho dan pilihan tagline menarik adalah pelacuran kata-kata. Dikemas menarik, memompa emosi, menggairahkan pilihan, serta membajak imajinasi politik publik. Namanya juga melacur, harus bisa memikat, menggoda dan di sembarang tempat.

Persenggamahan industrialisasi politik dan dahaga kebebasan pasca negara orde baru, bukannya mendulang embrio demokrasi subtantif. Malah sebaliknya, membiarkan hasrat demokrasi menggantung begitu saja pada prosedural an sich, tanpa merangsang tumbuhnya faktor-faktor penting penyebab kesejahteraan rakyat.

Buktinya, hingga hari ini indeks kesengsaraan (misery index) rakyat di tahun 2013 sebesar 15,04% dibanding tahun 2012 yang sebesar 10,72%. Indeks kesengsaraan di tahun 2013 ini adalah yang tertinggi selama tiga tahun terakhir.

BPS juga mengumumkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada posisi terakhir Agustus 2013 yakni sebesar 6,25 persen atau 7,39 juta orang. Artinya ada penambahan jumlah orang menganggur sebesar 220.000 jika dibandingkan dengan data Februari tahun 2013. Ini sebagai catatan atas gagalnya politik simbol dan pencitraan simbolik atu gagalnya rezim pencitraan.

Ini politik ruang hampa. Kita sedang berada di tengah-tengah sistem politik imajiner. Rakyat hanya dibuat berfantasi dengan simbol-simbol klise yang dimuntahkan politisi melalui atribut pemilu.

Misalnya,di salah satu stasiun televisi swasta, ada politisi yang beriklan lagu dangdut. Yang kita tangkap, dangdut serta konstruksi sosial tentang erotismenya, dimanfaatkan untuk menjembatani fantasi publik pada partai. Bukan sebaliknya, dangdut dilihat sebagai musik yang mewakili semangat orang-orang kecil, lalu dikemas dalam bentuk pesan yang jauh lebih populis dan berpihak.

Secara maknawi, yang kita tangkap dari pesan-pesan simbolik pada atribut pemilu adalah, sebuah pelembagaan gagasan, pelembagaan itikad pengabdian pada publik atau konstituen. Kata-kata itu menemukan relevansinya, bila mampu terkonfirmasi secara empirik, sebagai bukti dari ide dan gagasan yang dituangkan dalam baliho dan atribut sejenisnya.

Akan berbahaya dan lacur, bila atributisasi itu hanya berhenti sebagai strategi dan marketing politik. Bila ini yang terjadi, maka hal tersebut merupakan sistematisasi kebohongan terbesar dalam sistem politik kita. Betapa tidak, imajinasi publik dibajak hanya untuk sebuah pilihan politik simbol tadi.

Yang ingin saya sampaikan adalah, mari kita memilih pemimpin yang cerdas, punya kepedulian, konsep membangun dan berintegritas. Jangan serta-merta memilih pemimpin karena jebakan imajinasi denga atribut-atribut yang klise dan awut-awutan itu. []




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline