[caption id="attachment_306793" align="aligncenter" width="448" caption="sumber : amril/reno"][/caption]
Minggu-minggu ini berita kekerasan seksual menghangat. Mengutuk kekerasan seksual, sama halnya mengutuk permisifitas seksual yang kian tersaji di ruang publik dengan berbagai media. Semua tersaji begitu dekat dan mudah diakses siapapun. Betulkah?
Oleh Komnas anak menyampaikan, kekerasan seksual yang paling masif adalah yang terjadi di sekolah. Kasus JIS dan Emon, adalah runtuhan kebejatan sosial yang kembali mengusik dan menyadarkan publik, bahwa bencana moralitas itu sedang terjadi di balik tembok kelas.
Digitalisasi permisivitas seks yang kian masif, tak dipungkiri menjadi salah satu faktor mengapa kejahatan lendir itu telah menjangkiti masyarakat di segala usia. Emon, remaja yang mencatat rapi korban-korban kebejatannya, adalah separuh dari runtuhnya nilai-nilai moral pada anak Indonesia.
Membayangkan Emon dan korban permisivitas seksual berikutnya, sama menakutkan masa depan Indonesia di tangan generasi yang moralnya kian keropos. Lalu dimana letak soal kerawanan sosial yang kian keropos ini?
Tontonan seksual "tanpa refine" ke ruang publik, ditimbang-timbang, menjadi faktor utama mengapa prilaku seks menyimpang kian meluas. Disaat yang sama, orientasi kurikulum pendidikan yang meminggirkan etika, akhlak (atitute) dalam sistem pembelajaran, seakan mengamini, bahwa perilaku kekerasan seks yang melibatkan anak usia remaja adalah kegagalan fatal sistem pendidikan.
Dengan begitu, pemerintah secara sadar melakukan politik pembiaran, agar moralitas (akhlak) tergusur dari institusi sekolah. Sekolah sebagai salah satu sarang prilaku kekerasan seksual (berdasarkan informasi Komnas Anak), mengkonfirmasi kita, bahwa demoralisasi itu merupakan buah politik pembiaran pemerintah terhadap kurikulum pendidikan.
Terlepas dari soal salah dan dosa siapa, mari kita lihat fenomena ini sebagai ketukan, bahkan dobrakan kesadaran yang begitu hebat terhadap orang tua, guru, dan segala lapisan sosial masyarakat termasuk pemerintah.
Persoalan kekerasan seksual yang korbanya anak-anak, harus dilihat sebagai darurat sosial, dengan menjadikan sistem moral sebagai langka penting eduksi sosial yang lebih preventif. Termasuk undang-undang yang mengatur secara ketat soal permisifitas seksual di mass media. Demikian pun sistem kurikulum pendidikan mengintegrasikan persoalan akhlak; moralitas sebagai bentuk preventif menangkal gejolak runtuhnya nilai-nilai sosial etik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H