Lihat ke Halaman Asli

Munir Sara

TERVERIFIKASI

Yakin Usaha Sampai

PDIP, Adian, Ruhut dan Politik Taman Kanak-kanak

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14123093621808159229

[caption id="attachment_327031" align="aligncenter" width="480" caption="Adian Napitupulu (sumber : foto rmol)"][/caption]

Lihatlah Adian Napitupulu cs dimalam paripurna DPR 1 Oktober 2014. Semua jenis perbendaharaan kata-kata kotor dan tak senonoh, disemprotnya ke meja pimpinan sidang sementara DPR. Jari telunjuknya berulang kali disasarkan ke biji mata dua pimpinan sidang itu dengan sorot mata bengis. Rasa-rasa, pimpinan sidang mau ditelannya bulat-bulat.

Tak puas di balik pembatas meja pimpinan sidang, rekan Adian lainnya merangsak naik ke panggung pimpinan sidang. Mengintervensi, memaksa, dan segala bentuk tekanan. Saya melihatnya dengan jarak dekat, mereka tak punya kemampuan seni melobi, makanya pimpinan sidang ditekan untuk meloloskan keinginannya. Atau memang terlampau pongah di puncak kemenangan.

Alhasil saya mengendus dan memaklumi, bahwa setiap kekuasaan punya penjaga atau penunggunya. Mereka tak mau kekuasaan diseruduk. Bahkan mereka mau menyeruduk siapa saja yang dikira menggangu kekuasaan.

Sama persis Ruhut Sitompul yang kita kenal dengan kata-katanya yang familiar “SBY guru kami, presiden yang terhormat”. Keduanya (Adian Napitupulu dan Ruhut Sitompul) setali tiga uang. Sama-sama sebagai penunggu atau penjaga kekuasaan. Gaya komunikasi, diameter mulut dan tenggorokan saat teriak-teriak persis seukuran. Substansi omongannya pun sederajat rendahnya.

Semua dinamika politik yang terjadi hari ini adalah pendewasaan demokrasi. Waktu 16 tahun pasca reformasi 98, terlalu sebentar untuk menyegerahkan demokrasi kita tumbuh menjadi dewasa. Kematangan demokrasi "bukanlah suatu hal yang given," tapi terus menjadi.

Dua kali Koalisi Merah Putih menggunduli Koalisi Indonesia Hebat, adalah bagian proses "menjadi". Suatu proses dialektik yang terus mencari bentuk. Ini bukan soal siapa mengalahkan siapa ! Bukan soal siapa menginjak kaki siapa !

Di tengah proses menjadi itu, menjustifikasi siapa yang demokratis dan yang anti demokrasi, adalah pernyataan yang terburu-buru dan latah. Karena menjustifikasi pihak lain dengan bumbungan subjektifitas politik yang tinggi, juga bentuk lain dari ketidak--demokratisan. Karena selalu merasa benar sendiri. Lalu siapa yang paling demokratis?

Apa yang dipertontonkan Adian Napitupulu cs, adalah ciri infantilisme politik. Atau politik taman kanak-kanak. Yang mereka tampilkan adalah keculasan politik, egoisme politik dan sindrome tak mau kalah. Dalam psikologi politik, apa yang ditampilkan Adian cs, adalah gejala akut "narsisme politik".

Gejala narsisme politik akut ini, ditandai dengan sikap membanggakan diri dan kelompok secara berlebihan dan menganggap orang dan kelompok lain tak pernah benar atau berpeluang untuk hebat melebihinya. Ingin menang sendiri.

Terkadang, gejala narsisme politik yang berlebihan, membuat politisi pengidap suka bercermin dengan kelebihan sendiri, dan berulang-ulang dilakukan sekedar mendapatkan kepuasaan personal dan kelompok. Persis tokoh dalam mitos Yunani,Narkissos(bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Kalaulah ada klinik politik, Adian cs tepatnya ditempatkan di partai berkebutuhan khusus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline