Lihat ke Halaman Asli

Film Green Book (2018) yang Mampu Menghapus Anomali

Diperbarui: 25 Maret 2019   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Ringer

Bayangkan jika Anda berada di Amerika pada saat 1960-an dan bukan bagian dari kaum kulit putih. Anomali saat itu bisa dikatakan cukup parah terhadap warga kulit hitam. Bahkan, untuk memperoleh hak asasi manusia yang sama dengan warga negara lainnya terbilang masih sangat tabu.

Bukan hanya sang aktivis paling berpengaruh dalam sejarah, Malcolm X, yang punya cerita menginspirasi guna memperjuangkan hak-hak kulit hitam dan menghilangkan kekerasan kepada kulit hitam. Anda juga akan melihat cerita menarik yang bisa dipetik dari Film Green Book (2018) karya Peter Farelly.

Film yang sukses menggondol tiga penghargaan Oscar 2019 dalam Kategori Film Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik, dan Naskah Asli Terbaik ini mampu menghapus anomali soal rasialisme.

Diramu sedemikian rupa dalam komedi dan drama yang cerdas, Peter sang sutradara mengangkat kisah nyata sang pianis jazz kelas dunia, Dr. Don Shirley (Mahershala Ali), saat menjalani tour AS pada 1962. Kisah yang diangkat bukan menonjolkan kehebatan Don saat jemarinya memainkan piano. Kehebatan Don tentu sudah tak perlu diperdebatkan lagi bukan?  

Shirley sendiri ialah seorang imigran asal Jamaika yang lahir dengan nama Donald Walbridge Shirley pada 29 Januari 1927 di Florida. Shirley pertama kali menunjukkan minat pada piano sejak dua setengah tahun. Bakat terpendam itu terus terlihat dan terasah ketika Shirley memilih sekolah di Leningrad Coservatory of Music. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya dengan jurusan komposisi lanjutan dari Conrad Bernier dan Dr. Thaddeus Jones di Universitas Katolik Amerika di Washington, D.C.

Prestasinya di bidang musik terus menggeliat. Pada Juni 1945, saat usianya 18 tahun, Shirley melakukan debut konsernya dengan Boston Pops, memainkan Piano Concerto No. 1 di B flat Tchaikovsky. Imajinasi dan sentuhan magisnya nyaris usai akibat salah satu arena di AS tidak siap menerima seorang pria kulit hitam.

Namun, usaha tak akan membohongi hasil. Ia terus memberikan komposisi terbaiknya dihadapan penonton, sehingga tokoh sekelas Igor Stravinsky saja menyebut kehebatan Shirley sebagai "Salah satu Dewa".

Melihat background Shirley yang sungguh luar biasa, Peter pun mengisahkan salah satu kisah perjuangan Shirley guna menentang tindakan rasialisme saat dalam perjalanan tur bermusiknya. Bersama dengan seorang preman Bronx, Tony Lip (Viggo Mortensen) yang sedang membutuhkan pekerjaan baru akibat tempat kerjanya sedang direnovasi.

Seakan berjodoh, Lip pun bertemu dengan Shirley yang sedang mencari sopir sekaligus bodyguard untuk tur konser musiknya dari Manhattan ke Deep South. Dibantu dengan Negro Motorrist Green Book sebagai buku panduan yang terdapat informasi mengenai berbagai tempat yang aman dan ramah untuk dikunjungi oleh orang berkulit hitam saat melakukan perjalanan, Lip pun awalnya dengan berat hati menerima ajakan Shirley.

Atas izin sang istri, akhirnya pria asal Italia ini menjadi pengawal sekaligus supir bagi Shirley. Di perjalanan, berbagai intrik dan tindakan intimidasi oleh kaum putih maupun hitam dirasakan langsung oleh Shirley.

Meskipun dirinya merupakan kaum hitam, namun dirinya masih dipandang sebelah mata oleh kaumnya sendiri karena faktor pendidikan yang tinggi saat itu masih dianggap tabu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline