Lihat ke Halaman Asli

Hakim Korup & Pengadilannya yang Disorot

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tertangkapnya hakim tipikor di Semarang oleh KPK menggulirkan wacana mengenai pertama, peningkatan pengawasan hakim oleh MA. Kedua, ide mengenai pembatasan pengadilan tipikor di daerah. Hakim dan pengadilan tidak terpisahkan, ketika hakim tipikor menjadi pelaku korupsi maka menjadi tragedi penegakan hukum di Republik ini. Pada awalnya ide pembentukan pengadilan tipikor di daerah adalah cerita sukses pengadilan tipikor jakarta. Cerita sukses tersebut adalah sejak 2004—2012, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menangani sedikitnya 100 terdakwa korupsi. Dari jumlah tersebut, tak ada satupun yang dijatuhi vonis bebas (http://nasional.kompas.com/read/2012/08/22/08353460/Pengadilan.Tipikor.Bandung.dan.Surabaya.Disorot.MA).

Harapan melambung tinggi terpatri dibenak rakyat yang berharap pengadilan tipikor Jakarta dapat di copy-paste di daerah. Harapan yang berubah menjadi ide untuk membangun pengadilan tipikor di daerah. Namun bahwa hasilnya dari copas pengadilan tipikor di daerah adalah pertama, pengadilan tipikor Surabaya tercatat sebagai pengadilan yang tertinggi membebaskan terdakwa korupsi. Sebanyak 26 terdakwa dibebaskan dari hukuman, sementara Bandung tercatat enam kali membebaskan terdakwa korupsi. Kedua, Pengadilan Tipikor Samarinda juga cukup banyak menjatuhkan vonis bebas (19 terdakwa). Ketiga, Pengadilan Tipikor Makassar membebaskan empat terdakwa (http://nasional.kompas.com/read/2012/08/22/08353460/Pengadilan.Tipikor.Bandung.dan.Surabaya.Disorot.MA).

Cerita sukses pengadilan tipikor Jakarta menjadi cerita tragis di daerah, karena tidak hanya membebaskan terdakwa korupsi, namun juga tertangkapnya hakim tipikor ketika menerima suap menjadi dugaan mengenai maraknya korupsi di pengadilan tipikor. Pembebasan koruptor melalui vonis hakim dan terungkapnya suap hakim tipikor dapat menjadi indikator awal adanya jeratan jejaring korupsi di pengadilan tipikor. Jeratan jejaring korupsi dapat terjadi dengan salah satu faktornya adalah aspek historis hakim tipikor. Aspek yang lain adalah rendahnya pengawasan terhadap perilaku hakim tipikor tersebut.

Pengawasan yang selama ini dilakukan terhadap hakim di lingkungan MA oleh Komisi Yudisial sering dipandang sebelah mata. Dengan semangat melindungi teman sejawat, penegakan hukum dan kode etik hakim seperti membentur tembok kekuasaan yudikatif. Namun seharusnya pasca penangkapan hakim tipikor oleh KPK menjadi pemicu untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Hakim tipikor yang baru saja direkrut sudah memiliki tabiat korup, apalagi hakim yang sudah bertugas lama di bawah sistem lembaga yudikatif. Meski terdapat faktor historis dari hakim tipikor yaitu latar belakang profesi sebelumnya seperti pengacara, namun lemahnya pengawasan dapat menjadi celah untuk melakukan korupsi palu hakim.

Wacana kemudian bergulir untuk membatasi keberadaan pengadilan tipikor di daerah, bahkan ingin kembali menarik pengadilan tipikor daerah menjadi terpusat di Jakarta. Latar belakang pembentukan pengadilan tipikor daerah adalah sifat extra ordinary korupsi. Pertama, bahwa tipikor merupakan kejahatan yang berbeda dengan kriminal biasa. Sehingga membutuhkan pengadilan khusus yang berbeda dengan pengadilan pidana. Kedua, berkaitan dengan kerugian negara yang bisa ditangani oleh KPK. Dengan batasan kerugian negara yang dapat ditangani KPK maka hanya kasus korupsi dengan jumlah tertentu yang akan ditangani KPK dan dibawa ke pengadilan tipikor. Bagaimana dengan korupsi yang kurang dari jumlah tertentu yang tidak ditangani oleh KPK. Berkelindan dengan cerita sukses pengadilan tipikor, didorong pembentukan pengadilan tipikor di daerah.

Pembatasan pengadilan tipikor bisa menjadi 'kemunduran' penegakan hukum tipikor, karena masih maraknya kasus korupsi di daerah. Terungkapnya suap hakim tipikor dan besarnya kasus korupsi yang di vonis bebas tidak bisa menjadi dalih untuk membatasi pengadilan tipikor atau bahkan menarik kembali keberadaan pengadilan tipikor ke Jakarta. Bukan keberadaan pengadilannya yang salah, melainkan proses rekrutmen hakim yang menjadi akar masalahnya. Akar masalah tersebut kemudian membentuk pencabangan masalah seperti rendahnya pengawasan terhadap hakim. Rekrutmen hakim yang tidak mampu menelusuri rekam jejak calon hakim menjadi tantangan untuk dipecahkan. Calon hakim tipikor dari akademisi, advokat atau penegak hukum perlu ditelusuri kualitas kinerja atau prestasi masa lalunya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.

Rekam jejak ini tidak hanya bisa terungkap hanya dengan melihat pengalaman lebih dari 15 tahun dibidang hukum. Atau catatan pengalaman yang berkaitan dengan bidang hukum seperti tercantum dalam bio data yang menjadi persyaratan hakim tipikor. Proses rekrutmen seperti dilakukan model rekrutmen pimpinan KPK bisa menjadi referensi. Calon hakim ditelusuri sejarah profesinya dan kontribusinya dalam pemberantasan korupsi. Ketika pengalamannya ternyata tidak memiliki keterkaitan atau partisipasinya dengan pemberantasan korupsi tidak direkomendasikan untuk direkrut sebagai hakim.

Hakim dan pengadilan menjadi benteng terakhir keadilan dalam pemberantasan korupsi harus dibersihkan dari anasir korup. Hakim menjadi seperti orang suci di pengadilan dan menjadikan pengadilan seperti surga bagi keadilan dalam memberantas korupsi. Bukan menjadikan pengadilan tipikor sebagai surga bagi koruptor dan neraka bagi keadilan. Untuk itu kiranya kita tidak tergesa-gesa untuk mengevaluasi keberadaan pengadilan tipikor di daerah. Melainkan meningkatkan pengawasan terhadap hakim tipikor baik pada saat rekrutmen maupun ketika sedang menjalankan tugasnya menegakkan hukum.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline