Lihat ke Halaman Asli

Hukum: Mengungkap Makna di Balik Teks

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum dalam pengertian peraturan perundang-undang dibentuk didasarkan pada dimensi ruang dan waktu pada saat ditulis atau diundangkan. Realitas teks menjadi 'misteri' ketika teks (hukum) tersebut hendak diterapkan pada kasus-kasus aktual. Hukum sebagai media penyelesaian sengketa mengalami tantangan kontekstualisasi bunyi teks. Tantangan ini harus menjadi kesadaran aparat penegak hukum ketika hendak menegakkan hukum atau menerapkan hukum pada peristiwa hukum aktual. Bahwa ada kesenjangan makna teks pada saat hukum dibuat dengan waktu saat peristiwa hukum terjadi.

Rentang waktu yang ada dapat melahirkan pemaknaan baru atas teks. Pemaknaan baru terjadi karena dinamika masyarakat yang menjadi keniscayaan. Mengandaikan bahwa hukum berwatak tetap merupakan pengingkaran terhadap watak masyarakat yang dinamis. Tetapnya watak hukum hanya berkaitan dengan bunyi teks yang diikat oleh otoritas yang melegitimasi keberlakuannya. Namun makna atas (bunyi) teks tidak tetap akan dinamis disebabkan pertama, jarak antara pembuatan dan penerapannya. Kedua, aktor yang berbeda antara yang membuat dengan pelaksananya (penegak hukum).

Ketiga, dinamika masyarakat yang cenderung mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu. Keempat, perubahan atau perkembangan dari peraturan yang terkait. Keempat faktor tersebut akan mempengaruhi pemaknaan bunyi teks. Hukum tidak teralienasi dari fakta ini. Penegakan hukum yang mengesampingkan fakta tersebut akan menjadikan hukum tanpa roh, mati karena tidak mampu mengadaptasi berbagai perubahan yang terjadi diluar hukum. Hukum tanpa roh membentuk hukum seperti zombie yang bergerak menakutkan, berkehendak untuk memusnahkan dan tidak memiliki kebebasan berpikir untuk menimbang kebaikan, kebenaran atau keadilan.

Hukum adalah abstraksi nilai yang dituangkan menjadi kaedah hukum. Nilai yang diabstraksikan cenderung menetap dan menetapnya nilai tersebut karena dipegang teguh oleh masyarakat. Nilai-nilai yang dipegang masyarakat relatif menetap dalam kurun waktu lama, dan tidak mudah digoyahkan. Nilai yang menetap tidak berarti bahwa sebagai pembentuk (kaedah) hukum menjadikan hukum juga berwatak tetap. Hukum yang berhasil mengabstraksikan nilai yang dianut di masyarakat akan menjadi kontekstual ketika diterapkan. Hukum yang hanya menurunkan kaedah hukum nilai dalam tingkatan yang bukan utama akan mudah goyah ketika akan diterapkan.

Penegakan hukum harus mampu mengungkap makna dibalik teks yang tidak sekedar menafsirkan, namun berhasil memahami makna yang dimaksudkan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pemahaman makna yang demikian akan menautkan hukum dengan aspek historisnya, sekaligus menempatkannya pada kerangka berpikir kekinian masyarakat. Penegak hukum selama ini hanya terpaku pada menerapkan teks (bunyi peraturan perundang-undang) secara subyektif, dan melepaskan dirinya dari keterikatan hukum dari aspek historis dan dinamika kekinian masyarakat.

Dalam kasus tarik-ulur kewenangan menyidik kasus korupsi dapat menjadi contoh hukum yang tidak hanya ditarik sebagai pemuas kepentingan, namun juga hukum dicabut dari akar historis dan dinamika kekinian masyarakat. Polisi menggunakan teks hukum hanya sebagaimana bunyi yang tertulis, tanpa mampu menelusuri ruang historis dari sebuah undang-undang. Sekaligus melupakan dinamika kekinian masyarakat yang masih menetap dengan pemikiran bahwa polisi identik dengan korupsi. Watak polisi yang masih diyakini publik sebagai institusi yang korup berhadapan dengan kewenangan KPK yang tidak memungkin 'mundur' ketika sudah menyidik suatu kasus korupsi.

Tanpa harus meminta Presiden turun tangan menengahi perseteruan kewenangan atau mengajukan sengketa lembaga negara di MK, memaknai teks UU KPK tidak boleh hanya melihat teks tertulis semata. Teks itu bersifat tetap, namun pemaknaannya harus dilihat latar belakang teks tersebut muncul dan mengkaitkannya dengan dinamika kekinian masyarakat. Hukum bukan mahluk tanpa nyawa, namun nyawa hukum adalah hati nurani yang tidak pernah salah dalam menilai kebenaran, kebaikan dan keadilan. Melihat secara obyektif dan mendengar secara hening teks hukum akan membangun pemaknaan teks yang tidak tercerabut dari kesejatian makna ketika dilahirkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline