Lihat ke Halaman Asli

Karakteristik Penanganan Tindak Pidana Suap Wa Ode Nurhayati, Bupati Buol, dan Emir Moeis

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesibukan KPK dalam menjalankan tugas memberantas korupsi, dalam beberapa pekan ini disibukkan dengan penanganan 3 (tiga) kasus tindak pidana suap yaitu suap yang diterima Wa Ode Nurhayati sebesar Rp. 6,25 miliar, suap yang diterima Bupati Buol, Amran Batalipu senilai Rp. 3 miliar dan suap kepada Ketua Komisi XI DPR RI Izedrik Emir Moeis senilai lebih dari US$ 300 ribu. Ketiga kasus tindak pidana suap tersebut termasuk kasus yang menarik perhatian masyarakat. Daya tarik suap tersebut tidak hanya dibesarnya nilai suap yang diterima, melainkan aktor atau pihak yang menerima suap yaitu anggota DPR RI dan Kepala Daerah yaitu Bupati Buol.

Sebenarnya terdapat tindak pidana suap yang menjadi kasus menarik selain tiga kasus yang disebutkan diatas, yaitu kasus penyuapan yang dilakukan walikota Semarang non aktif Soemarmo. Kasus penyuapan ini tidak termasuk tindak pidana suap yang hendak dibandingkan karena pelaku (terdakwa) merupakan pihak yang melakukan penyuapan kepada anggota DPRD Semarang. Tiga kasus tindak pidana yang hendak dibandingkan menempatkan aktor-aktornya (tersangka/terdakwa) merupakan individu yang diduga menerima suap dari pihak lain.

Terdapat karakteristik penanganan tindak pidana suap yang dilakukan KPK berkaitan dengan 3 (tiga) kasus dengan tersangka/terdakwa Wa Ode Nurhayati, Amran Batalipu dan Emir Moeis. Pertama, KPK lebih dahulu memeriksa, menetapkan tersangka dan menahan pihak yang diduga menerima suap. Kedua, pasca penanganan sebagaimana disebutkan sebelumnya kemudian KPK menetapkan aktor atau pelaku yang memberikan suap kepada penerima suap. Model penanganan seperti ini seolah menegaskan bahwa KPK menggunakan model pemberantasan korupsi khususnya tindak pidana suap dengan lebih dahulu menetapkan penerima suap.

Proses bekerjanya KPK dalam mendalami tindak pidana suap dari penetapan tersangka penerima suap ke penetapan tersangka pemberi suap tidak dapat ditentukan. Waktu pendalaman untuk menemukan dan menentukan tersangka pemberi suap bervariasi. Dalam kasus suap Wa Ode Nurhayati, penetapan tersangka pemberi suap dilakukan membutuhkan waktu tertentu bahkan setelah penerima suap di menjalani sidang perdana-nya (13 Juni 2012). Penetapan tersangka pemberi suap dilakukan setelah pemeriksaan di sidang terdakwa Wa Ode Nurhayati sebagai penerima suap. Dimana saksi (yang kemudian menjadi tersangka) tidak menyangkal memberi suap kepada Wa Ode Nurhayati. Fadh El Fouz menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada tanggal 27 Juli 2012. Artinya bahwa pertama, KPK membutuhkan waktu hampir 1 bulan lebih untuk mendapatkan tersangka lain dalam tindak pidana suap. Kedua, tersangka tersebut didapatkan setelah adanya keterangan saksi pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tersangka penerima suap.

Berbeda penanganan tindak pidana suap pada Bupati Buol sebagai penerima suap yang ditangkap tangan oleh KPK. Meski sempat meloloskan diri, akhirnya Bupati Buol dapat ditangkap KPK pada tanggal 6 Juli 2012. Dengan tertangkap tangan (meski gagal), penerima dan pemberi suap diketahui KPK sedang menyerahkan sejumlah uang. Sehingga KPK tidak mengalami kesulitan untuk mendalami tindak pidana suap tersebut. Sedikit 'lebih rumit' dibandingkan dengan dua kasus tindak pidana suap sebelumnya, pada kasus dengan tersangka Emir Moeis, sampai saat ini masih belum diketahui siapa pihak yang memberi suap kepada Emir Moeis.

Suap yang didugakan kepada Emir Moeis hampir mirip dengan yang dialami oleh Wa Ode Nurhayati. KPK berani menetapkan tersangka penerima suap tanpa kejelasan siapa pihak yang memberi suap. Pertanyaannya apakah pihak-pihak pemberi suap baru akan terungkap setelah sidang pengadilan dengan terdakwa penerima suap yaitu Emir Moeis, seperti terjadi pada kasus suapa Wa Ode Nurhayati? Apabila memang demikian nantinya maka KPK cenderung menggunakan model untuk menetapkan tersangka penerima suap meski belum terdapat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka pemberi suap-nya. Bahkan apabila mengacu kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S. Gultom maka pemberi suap dapat ditetapkan tersangka membutuhkan waktu yang lama setelah para penerima suap menjalani sidang pengadilan dan divonis bersalah.

Penanganan tindak pidana suap yang dipaparkan diatas dapat menjadi pelajaran berharga dalam proses penegakan hukum. Yaitu bahwa penegakan hukum yang dilakukan KPK dapat menjadi pembelajaran bagi penegak hukum lain dalam menangani tindak pidana suap. KPK perlu menceritakan succes story dari penanganan korupsi khususnya tindak pidana suap agar pihak lain, khususnya penegak hukum dapat memperoleh pelajaran dalam menegakkan hukum. Dimana suap adalah bagian dari peningkatan kualitas pungutan liar (pungli) yang selama ini terjadi atau dipraktekkan dalam penyelenggaraan negara. Bagaimana KPK menelusuri aliran dana dari pemberi ke penerima suap? Bagaimana cara-cara yang dilakukan oleh para aktor dalam melakukan penyuapan? Kedua pertanyaan tersebut menjadi bagian yang dapat menjadi pelajaran untuk mengikuti cerita sukses yang (sudah) dilakukan KPK dalam pemberantasan korupsi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline