Lihat ke Halaman Asli

Tempe, Pemicu Krisis Pangan Indonesia (Jangan Anggap Remeh Tempe)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia diributkan dengan kenaikan harga kedelai yang merupakan imbas dari kenaikan harga kedelai internasional. Produsen tempe yang berbahan baku utama kedelai melakukan 'protes' dengan tidak berproduksi. Dalih produsen tempe adalah mereka sudah tidak mampu lagi berproduksi dengan harga bahan baku yang melambung. Konsekuensinya adalah harga tempe harus dinaikkan. 'Siklus' ekonomi seperti ini sebenarnya merupakan kewajaran, pertanyaannya mengapa kenaikan harga kedelai begitu menghebohkan. Bahkan kemudian ada yang menyebut bahwa Indonesia krisis tempe!

Dibelahan bumi lain di benua Eropa seperti Yunani dan Spanyol yang mengalami krisis finansial, alih-alih Indonesia juga terkena krisis finansial. Indonesia malah dicitrakan terpapar krisis tempe. Apakah krisis tempe ini merupakan manifestasi krisis finansial? Headline Harian Kompas hari ini mengangkat tema 'Indonesia Rentan Krisis Pangan'. Menelisik bahwa pangan adalah kebutuhan primer maka stabilitas harga pangan menjadi penting untuk dikontrol oleh Pemerintah. Fenomena krisis tempe jangan dimaknai sebagai kewajaran dalam siklus tahunan menjelang Ramadhan. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang menteri, 'apabila tidak menginginkan harga beras dan gula naik, maka jangan konsumsi beras dan gula'. Sebuah pernyataan yang tidak hanya nir-empati, melainkan tercerabut dari akar sosial-budaya bangsanya.

Mengkaitkan krisis tempe dan pernyataan menteri tersebut dapat memberikan gambaran bahwa Indonesia mempunyai potensi krisis ekonomi. Berbeda dengan krisis finansial di Eropa atau Amerika, krisis tempe ini menjadi gambaran bahwa tempe yang dinilai bahan makan kasta rendah yang dikonsumsi oleh masyarakat bawah Indonesia mampu berkontribusi pada kondisi krisis. Protes produsen tempe yang melakukan mogok produksi tidak hanya dibaca sebagai ketidakmampuan produsen untuk memproduksi. Tetapi kekuatiran bahwa kenaikan harga bahan baku tempe (kedelai) akan menaikkan harga tempe, dan kenaikan harga tempe tidak akan terbeli oleh konsumen. Tidak terbelinya tempe oleh konsumen akan menambah beban bagi produsen tempe untuk melangsungkan usahanya.

Pernyataan menteri yang seolah meminta masyarakat tidak mengkonsumsi beras memang betul, karena memang selama ini tidak ditemukan ada masyarakat yang makan beras tetapi nasi. Ketika tempe tidak terbeli karena harganya naik dan harga beras (dan gula) juga mengalami kenaikan maka sebenarnya kondisi faktual, pada kalangan tertentu dimasyarakat sedang mengalami 'kelaparan'. Kelaparan dalam tanda kutip dimaksudkan bahwa bukan kelaparan dimana masyarakat tidak dapat makan karena kekurangan bahan makanan. Melainkan masyarakat 'terpaksa' bersiasat dengan mengurangi kualitas dan kuantitas makanannya yang disesuaikan dengan harga pangan dan penghasilannya.

Tempe tidak terbeli, bagaimana dengan bahan pangan lain? Ketika sebuah produk tidak terbeli oleh masyarakat, maka produsen tempe akan menghentikan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha yang berhenti berarti terdapat sejumlah tenaga kerja yang tidak bekerja. Kondisi inilah yang harus dikelola dengan antisipasi oleh pemerintah. Pernyataan optimis sebagai manifestasi pikiran positif harus dikemukakan agar tidak menimbulkan kepanikan. Tetapi optimisme tersebut tidak boleh melenakan apalagi melupakan bahwa tempe yang dianggap makanan kelas dua tidak dapat dikonsumsi, bagaimana dengan (jenis) makanan lainnya. Bersyukur saat ini Indonesia sedang menjalankan ibadah puasa, sehingga konsumsi bahan makan terkendali. Dan waktu ini menjadi kesempatan untuk mencari solusi untuk keluar dari krisis tempe pasca bulan Ramadhan.

Fakta lainnya dari melonjaknya harga tempe adalah bahwa Indonesia yang masih dikenalkan sebagai negara agraris, tidak mampu mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri. Bahkan sebagai konsumen mie (instant) terbesar setelah Jepang dan China, Indonesia bukan termasuk produsen gandum yang menjadi bahan baku mie. Artinya bahwa tempe yang dianggap sebelah mata ternyata masih eksis di meja makan keluarga Indonesia. Eksisnya tempe ini tidak berarti bahwa keluarga Indonesia menghendaki tempe hadir di meja makannya, melainkan harga yang murah atau terjangkau dibandingkan dengan lauk-pauk lainnya. Tempe masih menjadi lauk-pauk masyarakat Indonesia. Artinya ketika tempe menjadi mahal, dan tidak terbeli oleh masyarakat, apa substitusi tempe bagi keluarga Indonesia?

Pertanyaan tersebut menghadirkan kekuatiran bahwa kualitas makanan keluarga Indonesia akan semakin menurun. Terlepas dari rendahnya 'kasta' tempe, meski kandungan gizi-nya luar biasa, bahwa tempe adalah lauk-pauk yang bisa dijangkau oleh daya beli masyarakat. Ketika harga tempe naik maka keluarga Indonesia akan menggantikan tempe dengan jenis lauk yang lain. Substitusi inilah yang harus dipikirkan dan diantisipasi, apakah sama berkualitasnya dengan tempe atau tidak? Apabila lebih rendah dari kualitas tempe maka asupan gizi masyarakat Indonesia akan semakin rendah. Inilah titik awal krisis pangan Indonesia yang memberi kontribusi bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline