Lihat ke Halaman Asli

Hey, Pilkada DKI (Mungkin) Satu Putaran! (Mencandra Pertarungan Norma)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas tidak bermaksud untuk mendahului hasil penghitungan suara yang akan dilakukan oleh KPU DKI, namun berdasarkan hasil berbagai lembaga survey yang melakukan penghitungan cepat (quick count). Tulisan ini tidak akan menganalisis hasil quick count, melainkan mengkaji kemungkinan terjadinya pilkada DKI hanya dengan satu putaran saja. Kajian tersebut didasarkan pada hasil perolehan suara quick count yang menempatkan pasangan Jokowi-Basuki di urutan pertama dan Foke-Nara di urutan kedua. Hasil perolehan suara quick count tersebut kemudian melahirkan pertanyaan yang memuat harapan, khususnya dari pihak yang berada diurutan pertama yaitu apakah dengan hasil perolehan suara seperti ini berarti pilkada DKI akan dilanjutkan ke babak berikutnya alias putaran kedua.

Pertanyaan tersebut seolah merupakan pertanyaan yang diajukan sebagai konsekuensi logis dari hasil perolehan suara. Dibalik pertanyaan tersebut terdapat problematika yuridis sebagai konsekuensi keberadaan norma yang mengilhami kaedah hukum yang mengatur mengenai mekanisme pemilihan gubernur DKI. Problematika yuridis tersebut berkaitan dengan pengaturan penetapan pemenang pemilihan gubernur DKI yang terdapat dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

'Benturan' norma dapat saja terjadi sebagai akibat perbedaan penggunaan dasar hukum dalam menentukan penetapan pemenang pemilihan gubernur DKI. Perbedaan penggunaan dasar hukum lahir dari perbedaan penafsiran dari masing-masing pihak dalam membaca pengaturan yang berkaitan dengan penetapan pemenang pemilihan gubernur DKI. Pertarungan norma sebagai akibat benturan norma dari peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan kerumitan dalam menentukan penetapan pemenang lelang. Benturan norma terjadi dengan asumsi bahwa tidak ada pasangan calon gubernur yang memperoleh suara diatas 50% jumlah suara sah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2007 jo Pasal 107 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2008.

Pertama, pasal 11 ayat (2) UU No. 29 Tahun 2007 menyatakan dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50%  diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama. Kedua, Pasal 107 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2008 menyatakan apabila ketentuan perolehan suara lebih dari 50% tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Kaedah hukum manakan yang akan digunakan untuk menentukan penetapan pemenang pemilihan gubernur DKI? Pilihan dasar hukum dapat menjadi penentu apakah pemilihan gubernur DKI satu putaran atau dua putaran? Karena penggunaan salah satu dasar hukum akan menutup kemungkinan pemilihan gubernur DKI dua putaran, demikian pula sebalik ketika dasar hukum lain digunakan akan membuka peluang terjadinya dua putaran.

Pilihan hukum dalam menentukan dasar hukum pemenang pemilihan gubernur hendaknya mempertimbangkan pertama, Pasal 2 UU No. 29 Tahun 2007 menyatakan Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini. Kedua, Pasal 239A UU No. 12 Tahun yang menyatakan pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Asas hukum lex specialis derogat lex generalis dapat menjadi sumber benturan norma. Dimana mengacu pada asas itu maka UU No. 29 Tahun 2007 merupakan lex specialis dari UU No. 12 Tahun 2008, sehingga dalam pemilihan gubernur DKI akan menggunakan dasar hukum UU No. 29 Tahun 2007. Disatu sisi ketentuan Pasal 239A UU No. 12 Tahun 2008 juga dapat menjadi 'senjata' untuk mematahkan asas lex spesialis derogat lex generalis. Frasa 'semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.' Artinya ketika UU No. 29 Tahun 2007 belum disesuaikan dengan UU No. 12 Tahun 2008 maka berdasarkan Pasal 239A dinyatakan tidak berlaku.

Pertarungan pemilihan gubernur DKI akan berganti 'ruang tanding', semula memperebutkan suara rakyat dan itu sudah dilakukan pada tanggal 11 Juli 2012 akan beralih pertarungan penafsiran hukum. Mari kita lihat bersama 'episode' kedua dari pemilihan gubernur DKI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline