Anggota DPR tentu akan marah apabila mereka disebut sebagai Dewan Perampok Rakyat, karena mereka menganggap dirinya anggota dewan yang terhormat. Mereka akan menolak disebut sebagai perampok. DPR tampil sebagai wakil rakyat hanya karena mereka dipilih oleh rakyat pada saat pemilu. Namun setelah terpilih menjadi wakil rakyat, mereka tidak sepenuhya tampil sebagai wakil rakyat. Mereka tampil mewakili dirinya sendiri , pemodal yang mendanai kampanye politik atau partai politik yang sudah menempatkan di daftar calon wakil rakyat.
DPR akan membela dirinya dan meyakinkan kepada rakyat bahwa mereka adalah wakil rakyat ditengah kenyataan maraknya kasus korupsi di DPR yang terungkap oleh KPK. Pembelaan yang akan disampaikan ke public antara lain pertama, bahwa korupsi yang terungkap belum berkuatan hukum tetap sehingga anggota DPR baru sebatas dugaan. Kedua, korupsi yang sedang ditangani oleh KPK tidak akan merusak citra DPR karena tidak mewakili keseluruhan tindakan (anggota) DPR. Ketiga, korupsi yang terungkap dan ditangani penegak hukum menjadi bagian dari pembusukan pihak tertentu sebagai upaya untuk melakukan penyanderaan politik terkait dengan pelaksanaan fungsi DPR.
Korupsi di Kemenakertrans menjadi penegasan bahwa DPR adalah Dewan Perampok Rakyat, terlepas sudah ada putusan hukum berkekuatan hukum tetap atau tidak. Pernyataan DPR adalah perampok cukup melihat kronologis rekam jejak korupsi DPR dari banyak kasus korupsi yang sudah ada, mulai dari suap dalam pemilihan Dewan Gubernur Senior Miranda Gultom, Nazaruddin yang merembet ke beberapa nama anggota Badan Anggaran DPR. Disebutnya nama beberapa yang diduga menerima aliran dana public menjadi kasus korupsi teraktual untuk menuding bahwa DPR adalah Dewan Perampok Rakyat.
Mereka rampok dengan modus operandi, pertama, melakukan transaksi (proyek) anggaran baik untuk pemerintah daerah maupun kementerian. Kedua, melakukan otak-atik RAPBD yang sedang dibahas untuk disesuaikan dengan kepentingan partai politik yang memiliki wakil-wakilnya di DPR. Ketiga, setelah otak-otak dilakukan adalah distribusi anggaran ke wakil rakyat dari partai politik tertentu untuk mendapatkan 'kesamaan persepsi'. Keempat, modus operandi pertama sampai ketiga bisa dilakukan sekaligus apabila di anggota DPR ada yang peran sebagai broker atau makelar proyek sebagaimana nampak (yang pernah) dilakukan oleh Nazaruddin.
Tentunya makelar proyek di DPR inilah yang menjadi 'kapal keruk' dan berada di garda depan untuk memperoleh cash money yang akan disalurkan untuk kepentingan anggota DPR dan partai politik. Tidak semua anggota DPR bisa menjadi 'kapal keruk', apalagi kapal keruk kelas kakap yang mampu mengeruk potensi cash money yang bisa diberikan ke partai politik. Bendahara sebuah partai politik dapat memainkan peran ini, sebagai anggota Banggar dan kapal keruk politik. Pertanyaan adalah kalau hanya anggota Banggar DPR, bukankah hanya orang tertentu atau sebagaian (kecil) dari DPR yang melakukan praktek kotor sebagai wakil rakyat?
Ditengah persaingan politik yang kuat, semangat gotong royong yang masih menjadi bagian dari budaya, dan kultur patron-klien yang kuat, apakah mungkin anggota DPR misalnya yang duduk di Banggar nguntal (menelan tanpa mengunyah) uang hasil rampokan sendirian? Apabila ada yang berani nguntal hasil rampokan tanpa membagi ke teman-temannya maka cepat atau lambat akan didorong ke proses penegakan hukum atau 'dihabisi' karir politiknya dengan segala cara. Dalam situasi demikian akan muncul 'whistle blower' sebagai aktualisasi iri hati terhadap anggota DPR yang menjadi kaya dan berkelimpahan.
Perampok legislatif tidak akan tampil secara single fighter. Mereka akan bekerja bersama, saling berbagi peran untuk melakukan kejahatan. Kerjasama meniscayakan ketidakmungkinan melakukan korupsi tanpa diketahui oleh kolega, sesama anggota DPR atau jajaran pengurus partai politik. Pernyataan tersebut dapat diuji-terapkan pada kasus Nazaruddin, apakah sebagai anggota DPR dan bendahara partai, dia bekerja sendiri untuk merampok uang melalui proyek-proyek di beberapa kementerian? Kalau iya sungguh kemaruk beliau itu. Tetapi tidak mungkin, seperti terungkap pada kasus korupsi pemilihan Dewan Gubernur Senior BI. Pada korupsi tersebut, uang hasil rampokan dibagi ke beberapa anggota DPR yang mempunyai peran masing-masing, minimal sebagai anggota DPR yang memilih DGS BI.
Anggota DPR yang tertangkap atau yang masih melakukan aksinya menjarah uang rakyat melalui APBN bekerjasama dengan sesama anggota atau pejabat kementerian. Konspirasi menjarah uang rakyat oleh anggota-anggota DPR menstransformasi DPR sebagai Dewan Wakil Rakyat menjadi Dewan Perampok Rakyat. Mereka tidak lagi mewakili rakyat, tetapi mencuri kekayaan rakyat. Sadarkah rakyat Indonesia bahwa di rumah rakyat tinggal sekelompok perampok yang sedang menjarah kekayaan tanpa gangguan berarti?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H