Lihat ke Halaman Asli

Panja Mafia Pemilu: Robohnya Wibawa Hukum

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Robohnya wibawa hukum berhadapan dengan proses politik tidak hanya terjadi pada dugaan pemalsuan surat dalam pemilu. Episode pertama robohnya wibawa hukum terjadi pada kasus Bank Century. Meskipun proses politik menyatakan adanya dugaan pelanggaran hukum, tetapi proses hukum yang dilakukan pasca proses politik sampai sekarang tidak dapat selaras dengan hasil proses politik.

Panja Mafia Pemilu adalah episode kedua dari robohnya wibawa hukum ketika merespon dugaan pelanggaran hukum atau tindak pidana. Proses politik menyalip proses hukum, merespon lebih cepat dugaan pelanggaran hukum. Pada episode kedua robohnya wibawa hukum memiliki perbedaan dengan episode pertama, yaitu mafia pemilu sebenarnya sudah ada pihak dalam hal ini Ketua MK yang melaporkan dugaan pemalsuan surat ke (Mabes) Polri.

Wibawa hukum dinyatakan roboh berkaitan dengan respon aparat penegak hukum yang lambat. Respon politik lebih cepat bereaksi, dengan ditunjukkan dengan kerja yang disiarkan oleh media elektronik pada hari ini sampai malam hari. Proses politik yang terjadi di DPR menampilkan kegesitan untuk menginvestigasi kasus mafia pemilu yang berkaitan dengan pemalsuan surat. Investigasi yang berbeda namun nyaris mirip dengan penyelidikan dan penyidikan di aparat penegak hukum.

Kegiatan investigasi yang ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi memungkinkan publik turut serta 'menikmati' pagelaran. Dalam pagelaran tersebut, secara tidak langsung kinerja legislatif sedang dinilai oleh konstituen mereka. Peran politik anggota legislatif yang termanifestasi pada setiap pertanyaan, komentar atas kasus yang sedang di investigasi menjadi bagian yang dinilai publik.

Inilah transparansi politik dari praktek good legislative governance, ketika publik dengan bening melalui layar kaca mampu melihat (baca: memantau) peran legilatif. Situasi yang belum terjadi pada proses hukum pada tahap penyelidikan dan penyidikan yang disiarkan secara langsung. Dan memang antara proses hukum dan proses politik memiliki perbedaan, yang tidak memungkinkan publik memiliki akses pada tahap penyelidikan dan penyidikan.

Terlepas dari perbedaan tersebut, proses politik pada kasus pemalsuan surat begitu cepat merespon dugaan pelanggaran. Bahkan kecepatan respon menyalib proses hukum yang terlebih dulu sudah dilakukan. Lambannya proses hukum banyak menimbulkan pertanyaan, apa yang menyebabkan Polri lambat menangani kasus tersebut? Apakah lambannya tersebut berkaitan dengan kasus yang melibatkan partai berkuasa? Dan kelambanan adalah fakta, meski dalih sudah dilontarkan untuk membela kelambanan tersebut.

Proses politik begitu dinamis-responsif, dan dengan watak demikian proses politik dapat tampil sebagai inisiator dalam berbagai dugaan pelanggaran. Artinya karena wibawa hukum sudah roboh, maka kepercayaan publik terhadap hukum dapat beralih atau mengalami konversi ke lembaga legislatif. Dimana lembaga legislatif dengan kekuasaan yang dimilik mampu memberi tekanan bagi aparat penegak hukum untuk memproses suatu kasus hukum tertentu.

Legislatif menjadi penekan bagi aparat penegak hukum dalam mengawal bekerjanya hukum di Indonesia. Dengan kewenangan legislatif yang dimiliki akan mampu mendorong 'mogok'nya penegakan hukum, khususnya terhadap kasus-kasus hukum yang bersinggungan dengan elit politik atau penguasa.

Model penegakan hukum dengan pra legislatif tersebut memiliki kelemahan, yaitu legislatif akan menjadi alat politik untuk memproses hukum kasus tertentu. Potensi demikian dapat terjadi ketika partai politik memiliki dominasi yang kuat atau memiliki kursi mayoritas. Sebagai alat politik maka proses politik akan bersinergi dengan proses hukum untuk membungkam dan memberangus lawan-lawan politik atau menyandera lawan politik/oposisi agar 'patuh' dan tidak kritis terhadap penguasa.

Situasi politik dan proses penegakan hukum demikian akan semakin memperpuruk hukum. Tidak hanya roboh, tetapi menjadi puing atau reruntuhan yang tak berkeinginan untuk dibangun lagi. Hukum berubah menjadi zombie yang menakutkan, tubuh tanpa jiwa dan roh. Hukum tanpa kekuatan untuk berada, ada tetapi mengada. Hukum tanpa wibawa akan mudah diabaikan oleh penguasa atau bahkan menjadi mainan pemegang kekuasaan.

Bangkit Indonesia!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline