Lihat ke Halaman Asli

Partai Demokrat: Ketika Kata-kata Mendahului Aksi Nyata

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai Demokrat dan SBY menjadi idiom untuk politik pencitraan dalam melakukan olah politiknya. Mulai dari kampanye yang mengutamakan penampilan fisik seperti wajah ganteng, tutur kata yang halus, perilaku yang sopan menjadi preferensi politik pemilih. Preferensi politik inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Partai Demokrati dan SBY dalam menyusun strategi untuk mengkonversi preferensi tersebut menjadi hak pilih di bilik suara.

Politik pencitraan ternyata terus berkelanjutan setelah SBY terpilih menjadi presiden kedua kalinya. Kental sekali politik pencitraan kembali dimainkan ketika tsunami korupsi menggoncang Partai Demokrat. Permainan politik pencitraan kembali diandalkan ketika media mengungkap kasus korupsi di Sesmenpora. Dengan menggelontorkan isu ke media berkaitan dengan kemungkinan keterlibatan (mantan) Bendahara Umum Partai Demokrat. Baik keterlibatan sebagai pengurus perseroan yang terkait dengan perusahaan yang memenangkan tender pembangunan wisma atlet, maupun dugaan sebagai calo atau broker anggaran yang memainkan tritunggal peran sebagai anggota DPR, bendahara partai dan pengurus perseroan.

Strategi doyo endho (kemampuan mengelak) dengan menggunakan kata-kata menjadi bagian tak terpisahkan dari olah politik yang dilakukan Partai Demokrat. Berbagai tangkisan kata-kata dilontarkan untuk merespon semua tudingan yang diarahkan ke partai. Tangkisan yang dilakukan melalui kader-kader terbaik partai diharapkan mampu meredam proliferasi isu yang dihembuskan. Menariknya, meski berupaya menangkis serangan tudingan, Partai Demokrat menanggapi serius dengan menggelar pertemuan petinggi partai. Apabila tidak benar, sebenarnya cukup hanya dengan bantahan atau statemen yang menangkis tuduhan yang arahkan ke kader partai dan Partai Demokrat. Pertanyaannya adalah mengapa setelah berupaya keras mengerahkan jurus doyo endho masih dibutuhkan 'konsolidasi' dengan menggelar pertemuan partai?

Jawabannya adalah adanya watak kegentingan terkait dengan isu yang berhembus. Kegentingan memiliki dua sisi yaitu kemungkinan kebenaran dari isu yang berhembus dan dampak yang muncul apabila kebenaran dari isu tersebut terungkap dan tertangkap publik. Dititik inilah politik pencitraan memainkan peran meski politik pencitraan digunakan untuk menutup lubang 'malu' yang dihasilkan dari Nazaruddin Gate ini. Lubang 'malu' inilah yang diharapkan bisa dipulihkan dengan strategi pencitraan yaitu pertama, memecat Nazaruddin sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat dan kedua, memerintahkan petinggi partai untuk mengajak Nazaruddin kembali ke Indonesia.

Pemecatan Nazaruddin adalah strategi pencitraan untuk menutupi lubang 'malu'. Malu karena sudah terlalu banyak kata-kata yang dilontarkan ke publik mengenai ketidakterlibatan Nazaruddin dalam korupsi Sesemenpora dan kemungkinan menjadi calo atau broker anggaran. Kata-kata pembelaan terhadap Nazaruddin adalah upaya menjadi nama baik partai. Namun tsunami dari Nazaruddin Gate ini ternyata diluar prediksi ketika Ketua MK mengeluarkan pernyataan mengenai dugaan gratifikasi yang pernah dilakukan Nazaruddin.

Pernyataan Ketua MK semakin memperkuat tritunggal peran yang dimainkan Nazaruddin dan penilaian publik mengenai 'ecek-ecek'nya sanksi Partai Demokrat menjadi kepedulian partai yang gemar menjaga citranya. Tuntutan agar Nazaruddin dipecat juga sebagai anggota DPR mengemuka juga dan dorongan agar KPK menyegerakan pemeriksaan Nazaruddin terkait dengan korupsi Sesmenpora dan dugaan gratifikasi ke Sekjen MK menjadi fokus pemberitaan media. Meluasnya pemberitaan media mengenai Nazaruddin Gate membahayakan citra partai yang selalu mengutamakan citra daripada substansi.

Bahayanya Nazaruddin Gate bagi Partai Demokrat menguat ketika Nazaruddin 'melarikan diri' ke Singapura. Istilah Melarikan diri terlalu bombastis, karena secara prosedural Nazaruddin belum terkait dengan kasus hukum tertentu dan kepergiannya beberapa jam setelah surat cekal dilayangkan oleh KPK. Perginya Nazaruddin menjadi tamparan keras, sehingga doyo endho kembali dilakukan. Membanjirnya kata-kata kembali hadir untuk membela citra partai  dan menegaskan 'ketika kata-kata mendahului aksi nyata'. Aksi nyata menjadi 'pemadam kebakaran' untuk memadamkan api yang disulut sendiri.

Bangkit Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline