Lihat ke Halaman Asli

Darurat Korupsi: Mengeroyok & Mengepung Korupsi

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi masih hangat dibicarakan, dan semakin tajam analisis publik yang diberikan ketika korupsi coba dibandingkan diantara dua rejim - orba dan orre. Mengutip pendapat teman di komentar jejaring sosial penulis, 'kalau di jaman orba korupsinya ibarat pasar swalayan tertata, teratur, rapi, kasirnya "tersistem", sedangkan sekarang korupsinya ibarat di pasar tradisional, semrawut, becek, tawar menawar sesukanya.' Dari pendapat tersebut menunjukkan bahwa korupsi memang sudah akut dan menjadi habitus dalam penyelenggaraan negara.

Bahkan sepertinya bangsa ini sudah lelah atau frustasi menghadapi situasi korup pada penyelenggaraan negara. Ketika lelah dan frustasi terhadap korupsi, tidakkah ada keberanian dari para pemimpin kita disetiap cabang kekuasaan untuk menyatakan DARURAT KORUPSI. Ketika dinyatakan bahwa bangsa ini darurat korupsi maka ada kesadaran mengenai tingkat kebahayaan dari laju patologi korupsi yang menjangkiti penyelenggaraan negara. Darurat korupsi juga meniscayakan tindakan tepat dan cepat dalam setiap penegakan hukum tindak pidana korupsi (tipikor).

Darurat korupsi berarti perang terhadap korupsi, perang puputan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI dari rongrongan korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Ketika penyelenggara negara dalam keadaan darurat korupsi masih melakukan korupsi maka pantaslah mereka diberi label sebagai pengkhianat bangsa. Label ini menjadi sanksi sosial dan politik sebagai hukuman meta-yuridis yang diberikan kepada koruptor. Hukuman seperti itu dilakukan karena hukuman (baca: pidana) konvensional seperti penjara tidak menimbulkan efek jera. Bahkan mendorong terciptanya modus-modus baru dalam melakukan korupsi.

Darurat korupsi tidak hanya berlaku bagi penegakan hukum yang sangat tergantung dari komitmen pemimpin negeri ini. Komitmen untuk memberantas korupsi yang tidak hanya 'abang-abang lambe', atau 'hangat-hangat tahi ayam' alias hanya sebagai lips service agar dinilai publik anti korupsi. Pemberantasan korupsi yang seperti itu hanya menimbulkan kesan publik bahwa pemimpin negeri ini tersandera oleh perompak dana publik yaitu koruptor. Tersandera karena [1] termasuk dalam jejaring korupsi dan [2] menjadi aktor utama pelaku korupsi.

Penegakan hukum dalam konteks darurat korupsi hanya dibutuhkan PERPU DARURAT KORUPSI. Tetapi perlu disadari bahwa penegakan hukum hanya menjadi salah satu upaya dalam pemberantasan korupsi yang bersifat represif. Untuk itu perlu diperlukan upaya preventif bahkan pre-emptif untuk melengkapi penegakan hukum pemberantasan korupsi pada darurat korupsi.

Pertama, dengan mengoptimalkan kerja KPK dalam pengawasan pembahasan APBN/APBD. KPK harus terlibat akrif dalam mengawasi, tidak hanya dengan hadir secara fisik dalam setiap rapat-rapat pembahasan, melainkan melakukan penyadapan terhadap saluran komunikasi yang digunakan oleh penyelenggara negara. Kehadiran KPK diharapkan dapat memberikan dampak psikologis, meskipun tetap masih memberi peluang untuk melakukan korupsi. Peluang tersebut terjadi karena 'deal' atau kesepakatan diantara penyelenggara negara dilakukan di wilayah gelap dan sunyi. Tetapi dengan kehadiran tersebut dapat membatasi ruang gerak koruptor untuk membangun mufakat jahat guna merampok uang rakyat.

Kedua, banyak kasus korupsi yang ditangani KPK terjadi pada proses lelang atau tender proyek. Dalam hal perlu dilakukan pengawasan terhadap lelang atau tender atau pengadaan barang/jasa pemerintah dengan melibatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Seperti KPK, sebagian kasus persaingan usaha yang ditangani KPPU juga masalah lelang proyek pemerintah. Pelibatan KPPU dalam pemberantasan korupsi menjadi 'saringan kedua' dalam menjerat pelaku korupsi apabila pengawasan yang dilakukan KPK pada saat pembahasan APBN/APBD masih gagal.

Peran KPPU dalam memberantas korupsi mempunyai dasar hukum di UU No. 5 Tahun 1999, dimana putusan KPPU dapat menjadi bukti permulaan bagi penyidik untuk memproses aspek pidana dari kasus persaingan usaha yang diputus oleh KPPU. Sinergi KPK-KPPU dapat menjadi senjata ampuh dalam darurat korupsi. Kedua lembaga tersebut saling mendukung untuk mencegah dan mengawasi 'invisible hand' yang akan merampok uang rakyat.

Ketiga, mendorong peran serta masyarakat dalam memberikan informasi mengenai tindak pidana korupsi. Dalam hal ini peniup peluit (whistle blower) perlu mendapat perlindungan dengan melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Masyarakat yang melaporkan adanya dugaan korupsi perlu langsung untuk diberikan perlindungan, baik perlindungan secara fisik maupun perlindungan dari jangkauan hukum. Perlindungan dari jangkauan hukum terkait dengan peniup peluit yang akhirnya menjadi tersangka atau dilaporkan melakukan pencemaran nama baik.

Pertanyaannya sejauh mana penyelenggara negara ini berani menyadari bahwa korupsi sudah akut dan menjadi habitus dari bangsa ini? Sehingga pemberantasan korupsi dengan menempatkan sebagai extra ordinary crimes dengan extra ordinary measures seolah membentur tembok. Dan tembok itulah yang harus dihancurkan, artinya butuh keberanian bahwa korupsi di Indonesia adalah super extra ordinary crimes.

Setelah berkesadaran maka dibutuhkan komitmen dari penyelenggara negara untuk memberantas korupsi. Komitmen yang tidak hanya lips service untuk menciptakan citra saja tetapi miskin susbtansi. Komitmen bahwa Indonesia berada di darurat korupsi. Komitmen untuk berani mengatakan tidak pada setiap upaya menjerat penyelenggara negara dengan jaring-jaring korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline