Lihat ke Halaman Asli

PSSI menjadi Ajang Perebutan Kekuasaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Kisruh PSSI berlarut-larut untuk menuju kongres PSSI guna memilih Ketum PSSI. Kisruh karena kekeruhan yang ditimbulkan adanya silang kepentingan dari berbagai pihak. Silang kepentingan terjadi ketikan pendukung George Toisutta-Arifin Panigoro (GT-AP) yang dikenal sebagai kelompok 78 'memaksa' agar bakal calonnya bisa diterima calon ketum PSSI pada kongres PSSI. 'Pemaksaan' sampai dititik kulminasi ketika komisi banding akhirnya menerima pencalonan GT-AP.

Silang kepentingan menimbulkan pertanyaan, apakah para balon ketum PSSI itu memang benar akan memajukan sepakbola Indonesia atau hanya sekedar mencari jabatan dan kekuasaan? Apabila ternyata yang kedua dibungkus dengan dalih ideal seperti memajukan kepentingan nasional, maka sepakbola Indonesia akan jatuh pada penggunaan kekuasaan yang menghamba pada penguasa (baca: ketum PSSI).

Hiruk-pikuk dalam bungkusan revolusi PSSI, ternyata belum tertuang pada adu konsep atau adu program pengembangan sepakbola Indonesia. Atau menyelesaikan persoalaan dikotomi LPI vs LSI, prestasi timnas, pengeroyokan pemain, tawuran suporter, kompetisi yang sehat dan profesional atau pembiayaan klub sepakbola yang tidak tergantung pada APBD. Revolusi hanya jargon, bukan membongkar sistem yang diduga korup yang mempurukkan sepakbola Indonesia.

Suksesi ketum PSSI menjadi alat perjuangan untuk mengambil alih kekuasaan tanpa konsep atau program yang jelas dan terukur bagi kemajuan sepakbola Indonesia. Suksesi menjadi pengutamaan berita mengenai bagaimana kelompok 78 berusaha untuk meloloskan calonnya. Penolakan-dukungan menjadi isu utama, menggeser keutamaan adu program untuk sepakbola Indonesia. Publik tidak diberi ruang untuk membedah track record calon dan program yang akan diterapkan ketika menjadi ketum PSSI.

Kekuasaan yang dikejar, tetapi bagaimana kekuasaan nanti akan digunakan sebagaimana tertuang dalam program tidak nampak terlihat. Sepakbola menjadi 'tetangga sebelah rumah' dari cabang kekuasaan yang dapat dijadikan sarana berolah politik. Perebutan kekuasaan menggunakan politisasi berbagai cara yang dimungkinkan sangat tampak tampil terindra oleh publik. Kelompok 78 menjadi mayoritas karena terdiri dari pemegang hak suara di kongres. Dan yang terjadi adalah diktator mayoritas dengan 'memperkosa' aturan-aturan yang memungkinkan mereka meloloskan calonnya.

Selamat berebut kekuasaan di kongres PSSI!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline