Lihat ke Halaman Asli

Pilkada: Kedaulatan Suara Sah BUKAN Kedaulatan Rakyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini terinspirasi dari penghitungan suara Pilkada Salatiga yang pemungutan suara dilakukan pada tanggal 8 Mei 2011. Pernyataan bahwa dalam pilkada tidak memperhitungkan suara rakyat berasal dari dasar hukumnya yaitu Pasal 107 UU No. 12 Tahun 2008. Tidak diperhitungkannya suara rakyat karena yang dihitung adalah suara sah. Dan ini berpotensi mengurangi kualitas demokrasi dalam pemungutan suara (pilkada).

Pengurangan kualitas demokrasi muncul karena yang menentukan pemenang adalah suara sah, bukan keseluruhan pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Penghitungan suara didasarkan pada jumlah suara sah bukan pada jumlah pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap. Penghitungan suara menjadi perhatian karena akan berpengaruh pada hasil pilkada, yakni prosentase yang menentukan pemenang pilkada.

Prosentase ini berkaitan dengan (1) calon yang memperoleh 50% lebih suara sah akan dinyatakan sebagai pemenang. (2) Apabila tidak ada pasangan calon yang tidak meraih 50% lebih maka ditentukan yang memperoleh 30% suara dan yang menduduki peringkat tertinggi dinyatakan sebagao pemenang. (3) Dan apabila perolehan suara pasangan calon tidak ada yang lebih dari atau kurang dari 30% maka dilakukan putaran kedua.

Dasar penghitungan dan penentuan prosentase adalah suara sah. Dimana dasar ini tidak memperhitungkan suara sah dan mengurangi kualitas demokrasi. Bahwa suara sah adalah bagian dari suara pemilih yang mempunyai hak suara. Suara sah oleh pembentuk undang-undang ditempatkan menjadi faktor utama dalam penentuan pemenang. Dan ini menjadi pengingkaran atas hakekat pilkada langsung, yaitu menempatkan rakyat yang mempunyai hak pilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami peminggiran (alienasi).

Peminggiran terjadi ketika penentuan prosentase dalam penghitungan suara hanya memperhatikan atau didasarkan pada suara sah. Padahal ada pemegang hak pilih yang menggunakan hak pilihnya dengan datang ke TPS, kemudian mencoblos suaranya tidak diperhitungkan. Tidak diperhitungkannya suara pemilih yang digunakan tetapi tidak sah karena paradigma golput yang dipegang oleh pembentuk undang-undang.

Golput terdiri dari pemilih yang mempunyai hak pilih tetapi tidak mampu menggunakan hak pilihnya karena (1) secara sengaja atau tidak sengaja tidak terdaftar sebagai pemilih; (2) pada saat pemungutan suara tidak mendatangi TPS dan (3) cara pencoblosan/pencontrengan yang dilakukan salah atau tidak sesuai dengan ketentuan. Sedangkan suara sah adalah hak pilih yang digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penghitungan suara dan penentuan pemenang pilkada yang didasarkan pada suara sah menjadi pengingkaran terhadap pemegang kedaulatan yaitu pemilih. Modelnya seperti ini merupakan degradasi kedaulatan rakyat, dimana suara sah memiliki supremasi dibandingkan dengan hak pilih yang dimiliki rakyat. Rakyat yang golput dg kriteria (2) dan (3) merupakan pemilih yang tercantum dalam DPT. Sehingga sudah sepantasnya mereka diperhitungkan dalam penghitungan suara dan penentuan pemenang pilkada.

Pilkada dengan memberikan supremasi pada suara sah adalah degradasi kedaulatan rakyat. Sehingga ke depan perlu dilakukan perbaikan sistem penghitungan dan penentuan pemenang yang mempertimbangkan seluruh rakyat yang mempunyai hak pilih. Artinya golput diakui, tetapi ternyata tidak diperhitungkan dalam penentuan pemenang. Jadi rejim pilkada dari awalnya sudah meniadakan kedaulatan rakyat, karena yang hadir adalah kedaulatan suara sah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline