Lihat ke Halaman Asli

Jargon Revolusi PSSI Penutup Syahwat Kekuasaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Masalah sepakbola Indonesia belum bisa keluar dari masalah 'degradasi' kualitas SDM yang mau membangun PSSI. Tuntutan mundur Ketum PSSI Nurdin Halid dan jargon revolusi yang didengungkan ternyata hanya topeng untuk merebut kekuasaan. Merebut kekuasaan yang dipegang NH dibungkus dengan kegagalan Timnas PSSI dan berbagai masalah persepakbolaan Indonesia, seperti kelahiran LPI.


Tuntutan mundur NH dengan jargon revolusi PSSI bergulir dengan dukungan media mendapatkan respon dari masyarakat pecinta sepakbola, pemerintah bahkan FIFA. Respon terpenting yang memuluskan suksesi ketum PSSI adalah dari FIFA yang memberi penafsiran tegas tentang pasal yang melarang siapapun yang pernah terlibat perkara kriminal untuk menjadi pengurus PSSI. Pasal tersebut yang selama ini ditafsirkan secara sepihak oleh PSSI c.q NH dalam usaha melanggengkan genggaman kekuasaan.


Respon lain dari tuntutan mundur NH dan revolusi PSSI melahirkan kelompok 'oposisi' yang terbangun dari pemilik suara sah dalam konggres PSSI. Kelompok 'oposisi' kemudian dikenal kelompok 78 menjadi motor penggerak revolusi PSSI selain pemegang kepentingan lainnya seperti kelompok suporter atau pemerintah. Kelompok 78 kemudian tampil mencoba mengambil alih proses suksesi PSSI dengan terlibat aktif di komisi-komisi yang dibentuk untuk mempersiapkan kongres atau pemilihan ketum PSSI.


Kembali pada respon FIFA, yaitu membentuk komite normalisasi yang menjadi 'lembaga demisioner' untuk mempersiapkan pelaksanaan konggres dan pemilihan ketum PSSI. Kemudian dibuka pendaftaran ketum PSSI dan komite eksekutif. Kelompok 78 tetap konsisten mengusung George Toisutta dan Arifin Panigoro (GT-AP). Dititik inilah wajah asli kelompok 'pemuja kekuasaan' bisa terlihat. Mereka tetap ngotot untuk mendaftarkan GT-AP untuk bisa daftar sebagai ketum PSSI. Padahal FIFA sudah 'mem-black list' keduanya dengan melarang untuk ikut dalam bursa ketum PSSI.


Revolusi PSS hanya jargon untuk merebut kekuasaan dari NH, yang mungkin juga nir keinginan untuk memperbaiki PSSI. Menggusur NH hanya sebagai strategi untuk bisa berkuasa bukan untuk menyelamatkan PSSI. Tuduhan ini pantas mengemuka karena kelompok 78 begitu ngotot untuk tetap mendesak GT-AP masuk dalam bursa ketum PSSI.


Yang perlu dipahami oleh pemangku kepentingan PSSI adalah revolusi adalah merombak sistem, bukan sekedar mengganti orang seperti ketum PSSI. Belajar dari pengalaman reformasi 1998, maka revolusi harus mampu membongkar akar yang membuat PSSI dan persepakbolaan Indonesia terpuruk dan nir prestasi. Revolusi harus mampu membongkar sistem yang bobrok dan mengganti dengan sistem yang baik. Sistem tersebut terkait dengan seluruh organisasi PSSI sampai ketingkat daerah, mulai dari SDM, kompetisi, wasit, atau peraturan.


Tanpa perombakan sistem, siapapun yang akan memimpin akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan prestasi sepakbola. Kecuali prestasi hanya berkaitan dengan citra, seperti prestasi timnas yang di poles sedemikian rupa sehingga bisa meraih prestasi dan supremasi persepakbolaan di tingkat asia. Pertanyaannya adalah apakah prestasi dapat diraih tanpa sistem yang menunjang? Bravo sepakbola Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline