Lihat ke Halaman Asli

Koalisi: Penegasan Pemerintahan Presidensial dan Politik CLBK

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

'Jalan' lambat yang ditempuh Presiden SBY dalam melakukan 'kocok' ulang kabinet banyak menimbulkan perdebatan dan spekulasi wacana yang muncul dalam beberapa hari ini. Bahkan kalangan dunia usaha meminta untuk segera menentukan apakah akan melakukan kocok ulang kabinet atau tidak sama sekali. Karena menurut mereka, kepastian kocok ulang berpengaruh pada iklim dunia usaha yang membutuhkan kepastian berusaha terkait dengan pergantian personel yang akan membidani kelahiran berbagai kebijakan (ekonomi).

Spekulasi wacana berkutat seputar parpol yang akan didepak-pertahankan dan jumlah kursi menteri yang menjadi bagian dari 'anggota' koalisi. Parpol yang dispekulasikan untuk didepak dari koalisi adalah Golkar dan PKS. Meski pada hari ini ditegaskan bahwa Golkar tetap berada dan menjadi bagian koalisi, tetapi menarik melihat wacana sebelum penegasan tersebut. Wacana bahwa Golkar akan keluar dari koalisi, dan menteri-menteri dari Golkar menjadi bagian yang akan dikocok ulang.

Sebelumnya banyak pihak meyakini Golkar dan PKS akan (di)keluar(kan) dari koalisi terkait dengan dukungannya terhadap hak angket pajak. Tetapi untuk Golkar tidak terbukti, karena masih bertahan di koalisi. Wacana yang berkembang menjadi mentah dan hanya menjadi 'buih-buih' politik dari para pewacana. Ada benang merah dari pewacanaan bongkar pasang koalisi (dan kabinet) yang hendak disampaikan oleh Presiden SBY yaitu penegasan sistem presidensial yang diatur dalam konstitusi.

SBY berkomitmen dan konsisten terhadap sistem presidensial. Sehingga dalam menanggapi situasi politik muktahir, SBY bertolak dari ide awal konstistusi mengenai sistem pemerintahan presidensial. Situasi politik muktahir adalah seolah-olah ditinggalnya gerbong koalisi yang dibangun sejak awal pemerintahannya oleh Partai Golkar dan PKS dengan mengusung hak angket pajak. Pernyataan SBY yang lugas mengenai situasi politik tersebut, oleh banyak pihak diwacanakan sebagai sinyal untuk membongkar struktur politik koalisi termasuk kocok ulang kabinet.

Wacana tersebut tidak salah, tetapi juga tidak tepat ketika mengamati olah politik SBY. Dengan mendasarkan diri pada komitmen untuk melaksanakan sistem presidensial, SBY melakukan kalkulasi politik ditengah kejengkelan politik terhadap kawan koalisinya. Kalkulasi politik dilakukan dalam kerangka konstitusional untuk menjamin pemerintahan presidensial yang meliputi olah politik sebagai berikut pertama, menghitung kembali komposisi kekuatan di DPR ketika hendak  mendepak Golkar dan PKS sebagai kawan koalisi. Kedua, hitung ulang akan sangat menentukan dalam membangun ulang struktur koalisi.

Komposisi kekuatan di DPR harus menempatkan bahwa kekuatan politik yang mendukung pemerintah harus mayoritas. Dukungan Legislatif yang berasal dari partai politik membentuk konfigurasi kekuatan politik yang menjamin DPR akan mendukung kebijakan yang ditempuh pemerintah. Tanpa dukungan kekuatan politik tersebut, pemerintah menjadi sangat rapuh dan mudah digoncang dengan penggunaan mekanisme politik yang berepisentrum dari gedung DPR.

Kerapuhan bangunan politik di DPR inilah yang dihindari oleh SBY. SBY memahami betul bahwa apabila kerapuhan ini tidak diperkokoh maka tidak menutup kemungkinan dia akan dilengserkan sebelum waktunya di tahun 2014. Dimana dalam sistem presidensial, presiden seharusnya tidak mudah untuk diturunkan oleh legislatif kecuali melakukan kesalahan konstitusional. Dan dengan kerapuhan politik, sekecil apapun kesalahan dalam melakukan olah politik akan mampu melahirkan tsunami politik yang meluluh-lantakan bangunan politik presidensial.

Setelah menghitung ulang komposisi kekuatan politik di DPR maka penghitungan dilakukan dalam hal memilih kawan koalisi. Pemilihan kawan koalisi dilakukan ketika hendak mendepak kawan koalisi yang telah melakukan 'pengkhianatan' atas kesepakan politik yang dibangun. Langkah ini tidak terlepas dari hitung ulang komposisi kekuatan di DPR. Langkah politik SBY dan Demokrat dengan membangun komunikasi politik dengan Gerindra dan PDIP dapat dimaknai dalam kerangka sedang memilah dan memilih kawan politik.

Wacana kocok ulang kabinet dan tawaran kursi menteri menjadi bagian dari rencana kesepakatan yang hendak dibangun. Bak gayung bersambut, Gerindra menerima sinyal komunikasi politik dengan mengajukan persyaratan yaitu pos 2 menteri apabila dipilih menjadi kawan politik koalisi. Menteri Pertanian dan Menteri BUMN menjadi aktualisasi aspek ideologi (partai) dan pragmatisme politik. Dan tentunya SBY tidak akan dengan mudah melepaskan kursi menteri BUMN ke parpol lain yang akan menjadi kompetitor politik di pemilu 2014.

Koalisi dan kocok ulang kabinet yang diwacanakan akan segera menjadi aktual. Pertemuan SBY dan Ketua Partai Golkar yang menyepakati bahwa Golkar tetap berada di koalisi menjadikan olah politik yang dilakukan adalah politik CLBK (cinta lama bersemi kembali). Politik CLBK dilakukan ketika komunikasi politik yang dilakukan SBY dan Partai Demokrat bertepuk sebelah tangan. Tawaran atau ajakan politik untuk bergabung sebagai kawan koalisi ditolak oleh Gerindra dan PDIP.

Penolakan yang dilakukan dengan karakteristik bahasa poliitk yang dimiliki parpol mengaktualisasi dalam hal [1] mengajukan syarat pos menteri dan [2] keukeuh untuk tampil sebagai partai oposisi. Akibat penolakan ini adalah lahirlah politik CLBK, SBY dan Partai Demokrat menjalin 'cinta politik' mereka yang menjadi modal untuk membangun keintiman politik. Keintiman yang sempat ternodai dengan perselingkuhan yang dilakukan Partai Golkar. Politik CLBK SBY dilakukan guna menjamin pemerintahan presidensial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline