Lihat ke Halaman Asli

Mengarusutamakan Kejujuran dalam Penegakan Hukum

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penegakan hukum Indonesia mengarah pada kondisi yang menegasi dengan cita hukum. Hukum dipakai sebagai 'kekerasan' yang dilegitimasi negara untuk menciptakan ketertiban dari setiap bentuk tindakan yang berpotensi melahirkan chaos. Kekerasan yang dilegitimasi lahir karena otoritas negara yang diberikan oleh rakyat. Negara menjadi pemilik tunggal kedaulatan dan mempunyai kewenangan untuk mengemanasi tujuan diadakannya negara.


Legitimasi negara untuk melakukan kekerasan juga mengatasnamakan hukum. Dalam hal ini hukum menjadi lingkaran proses menjadi-adakan legitimasi,yaitu dasar keberadaan legitimasi untuk melakukan tindakan represif bagi warga negara sekaligus menjadi alat dalam mengatur-batasi kekerasan yang diperbolehkan. Tugas negara untuk menegakkan hukum dapat mengalami distorsi baik dari aspek substansi (hukum) dan manusia yang menjadi aktor dalam penegakan hukum.


Substansi hukum memuat isi dan proses hukum yang memedomani setiap bentuk penegakan hukum . Dan aktor hukum adalah pihak yang mengerakkan hukum dari teks pasal atau ketentuan yang mati menjadi dinamis dalam gerak untuk menghidupkan isi dan proses hukum. Substansi dan aktor menjadi penting dan tidak terpisahkan. Hukum tanpa keduanya tidak akan mengada, dan keberadaannya menjadi tidak ada. Ada tetapi meniada, hukum sirna dalam keadaannya yang ada.


Distorsi tugas negara mengakibatkan kekerasan berada diluar hukum, dan melampauinya menjadi syahwat kanibalisme terhadap manusia lainnya (homo homini lupus) mendominasi penegakan hukum. Kekerasan yang dilegitimasi berubah menjadi kebiadaban atas nama hukum dan mendegradasi hakekat kemanusiaan. Hukum hanya sekedar menjadi alat dan melupakan tujuan keberadaan hukum yaitu keadilan, kepastian dan ketertiban.


Cita hukum mungkin tetap eksis dalam jargon-jargon yang disampaikan oleh pemegang otoritas kedaulatan. Jargon 'demi menciptakan atau menjadi kepastian dan ketertiban masyarakat' menjadi mantra untuk menunjukkan bahwa aparat penegak hukum telah menegakkan hukum sesuai dengan hukum. Pertanyaannya  adalah apakah penegakan hukum sudah berkeadilan? Apakah dalam penegakan hukum sudah dilakukan tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi juga jujur dalam proses bekerjanya system hukum?


Hukum sudah bekerja, dengan system yang dibangun dalam dan oleh hukum, aparat penegak hukum menjadi aktor utama meski bukan aktor tunggal. Aktor lain selain aparat penegak hukum adalah pembuat undang-undang (legislative), dan dalam lingkup tertentu hakim juga merupakan pembuat atau pembentuk hukum selain juga sebagai aparat penegak hukum. Aktor-aktor tersebut mempunyai peran penting dalam membentuk wajah hukum dan mewarnai hukum. Wajah dan warna hukum dapat ramah atau garang, gelap pekat atau terang bercahaya.


Keramahan hukum tidak menjadikan hukum menjadi lembek atau tak berdaya, tetapi hukum menyapa para pencari keadilan dengan wajah tulus untuk memberikan keadilan. Hukum tidak hanya ramah bagi mereka yang mampu memberi harga bagi nilai hukum yang ditawarkan oleh penegak hukum korup. Tetapi juga melempar senyum yang menyejukkan hati bagi para pelanggar hukum, meski dirinya tetap tertimpa kekerasan berbentuk sanksi hukum yang diberikan hakim. Namun sering ditemukan bahwa hukum menjadi garang atau buas bagi mereka yang tidak mampu memuaskan syahwat rakus yang berspiritkan hedonisme bagi aparat penegak hukum.


Hukum tidak seharusnya bersifat trasaksional. Watak transaksional hanya mengemuka saat pembentukan di lembaga legislatif. Proses di lembaga politik meniscayakan terjadinya tukar-menukar kepentingan. Tetapi ketika sudah diundangkan maka hukum harus tampil sebagagi hukum yang tidak memihak. Keberpihakan hukum hanya kepada keadilan. Bahkan mengatasnamakan hukum untuk ketertiban dan kepastian, namun mengingkari keadilan maka yang tersisa dari hukum adalah kekerasan yang terlegitimasi.


Hukum di Indonesia terjebak pada watak transaksional yang mewujud dengan istilah korupsi. Hukum memiliki nilai diluar nilai utamanya yaitu keadilan. Nilai tersebut identik dengan harga, dimana hukum dikonstruksikan sebagai komoditas yang diberi nilai tertentu. Dalam hal ini hukum menjadi alat tukar (transaksional) yaitu (penafsiran) pasal dan ayat yang mengemuka pada 'putusan' penegak hukum ketika hendak menegakkan hukum dengan pihak yang (diduga) melanggar hukum. Bertemunya dua kepentingan yang bersimpangan, menempatkan hukum menjadi komoditas dalam pasar penegakan hukum.


Aneka Warna Hukum yang Tidak Beraturan adalah Sebuah Keteraturan


Transaksi hukum memberi warna hukum Indonesia, tidak hanya hitam-putih dalam pengertian baik-buruk atau benar-salah. Melainkan lebih berwarna dengan kedinamisannya yang sering beraneka warna sesuai harga pasar dari komoditas yang bernama hukum. Karut-marut hukum Indonesia tidak lagi bisa diberi warna abu-abu, melainkan aneka warna yang tak beraturan sesuai dengan selera pengemban hukum yang korup. Selera pengemban hukum akan sangat kontekstual tergantung tingkat kepangkatan, jelajah kewilayahan, kualitas kasus, atau atas permintaan pembeli hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline