Lihat ke Halaman Asli

Hukum Bercadar Kemunafikan, Berparaskan Ketidakadilan

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum sering ditampilkan sebagai sosok yang garang, tak kenal ampun. Apalagi kalau menempatkan hukum sebagai sebuah perintah (law as command), ketidakpatuhan terhadap perintah melahirkan konsekuensi sanksi. Hukum yang demikian tampil begitu garang, akan menghukum siapa saja yang melanggar hukum. Atas nama kepastian hukum, pihak yang memiliki otoritas menggunakan hukum untuk menciptakan ketertiban (social).


Penampakan hukum yang berlogikan perintah berpotensi mencipta hukum yang brutal, dengan ketidakmampuan merefleksi dirinya atas cara berhukum. Ketidakmampuan berefleksi terhadap tiga aspek hukum mengacu pemikiran Lawrence Friedman yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Pandangan bahwa hukum adalah bunyi teks undang-undang semata-mata yang memuat perintah, larangan dan sanksi, telah menempatkan hukum ibarat kipas angin.


Kipas angin itu mampu mensuplai udara termasuk menyingkirkan debu/kotoran.  Suplai udara/angin berguna untuk menyejukkan, memberi kesegaran bagi yang mengalami kegerahan atau berkeringat. Kegerahan atau keringat ibarat 'noda' yang mengganggu dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi tubuh. Pun demikian, pelanggaran hukum seperti kejahatan atau tindak pidana khususnya street crime disebut sebagai penyakit masyarakat. Sebagai penyakit, pelanggaran hukum menimbulkan ketidaknyamanan dalam masyarakat yaitu gangguan keamanan ketertiban (kamtibmas).


Gangguan kamtibmas inilah yang diemban oleh hukum untuk dihilangkan atau diminimalkan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan hakim. Menghilangkan atau meniadakan gangguan kamtibmas inilah yang sering disebut dengan penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum, para pengembannya juga tertular sindrom kipas angin. Yaitu minimnya kemampuan untuk merefleksi keberadaan hukum. Hukum yang seharusnya manusiawi dengan hati nurani dalam penegakannya, menjadi hukum yang mekanis dan formalistis sekaligus lentur ketika berhadapan dengan situasi tertentu.


Hukum yang demikian adalah hukum yang berkemunafikan. Seperti kipas angin yang menjadi kiasan, hukum didayagunakan untuk menghilangkan atau meminimalisasikan gangguan kamtibmas. Tampil garang saat berhadapan dengan pelanggar hukum dari golongan masyarakat bawah. Bahkan pemberani untuk tampil menjadi pembela teks undang-undang, yang sekedar menunjukkan bahwa hukum ditegakkan. Keberhasilan menekan angka kriminalitas menjadi indikator, atau keberhasilan dalam memproses setiap kasus (hukum) yang masuk ke meja hijau.


Dibalik indikator keberhasilan yang mudah dikemukakan, terdapat kemunafikan. Bentuk kemunafikan itu adalah korupsi! Lembaga penegak hukum dipercaya publik sebagai pelaku korup yang memperjualbelikan pasal-pasal hukum, dan mengkompromikan proses hukum bagi mereka yang mampu memuaskan syahwat kerakusan ekonomi penegak hukum. Sistem penegakan hukum sudah seperti pasar yang meniscayakan terjadinya tawar menawar antara pembeli dan penjual hukum.


Pasar penegakan hukum menjadikan hukum menjadi komoditas atau sarana perdagangan. Bahkan didalam pasar penegakan hukum juga terdapat para preman-preman hukum yang mengutip setiap hasil transaksi yang dilakukan. Preman hukum ini mungkin tidak terorganisasi, tetapi mereka berjejaring dengan aparat penegak hukum yang berprofesi ganda sebagai penjual hukum. Berbeda halnya apabila yang menjadi preman hukum sekaligus penjual hukum maka mereka terorganisir dan mempunyai kemampuan untuk membentuk kartel. Kartel inilah yang sering disebut atau dikenal dengan sebutan mafia hukum. Preman hukum yang tidak terorganisir bergerak secara independen mengikuti alur pihak-pihak berperkara yang membutuhkan 'jasa hukum'nya. Sedangkan yang terorganisir, berjejaring untuk saling bisa mengkondisikan komoditas (hukum) yang bisa ditawarkan dengan mengacu prinsip penawaran dan permintaan.


Dititik inilah hukum bercadar kemunafikan! Cadar dimaksud topeng yang digunakan untuk menutupi wajah bopeng aparat penegak hukum. Cadar tersebut mengemuka sebuah wajah kemunafikan, dimana tugas aparat penegak hukum adalah menegakkan hukum tetapi yang terjadi adalah komodifikasi hukum untuk memuaskan syahwat kerakusan ekonomi. Hukum baik dalam struktur, substansi dan budayanya menjadi hipokrit tidak lagi mengejar hakekat hukum, tetapi kepentingan pengemban hukum. Pengemban hukum membentuk hukum menjadi komoditas untuk diperjualbelikan.


Hukum dengan pasal-pasalnya, hukum dengan aparat penegak hukumnya, hukum dengan kemuliaan tujuannya didistorsikan sekedar menjadi 'barang dagangan'. Hukum yang hakekatnya harus adil menjadi hukum yang melayani kepentingan para pihak yang melakukan transaksi. Hukum tidak lagi tampil dengan watak yang supreme, melainkan mengalami kemerosotan derajat menjadi pelayan. Asas supremacy of law hanya sekedar jargon kosong, dan tampil sangat munafik ketika mengemukakan proses penegakan hukum ke depan khalayak. Karena yang terjadi adalah sandiwara, dimana yang ditampilkan adalah cadar kemunafikan yang menutupi bobrok transaksional yang dibentuk oleh praktek korup pemilik wajah.


Hukum yang tampil dengan cadar kemunafikan, meski tampil elok para pemilik wajah namun tidak mampu menutupi paras ketidakadilan yang dipancarkan. Hukum yang sudah munafik, menjadi niscaya tidak adil. Bahkan hukum (diduga) sudah tidak adil ketika berada dirahim pembentuk undang. Korupsi ayat menjadi salah satu buktinya. Bukti yang lain adalah rahim hukum yang berada di lembaga legislative adalah lembaga politik, hasil dari sebuah proses politik. Proses politik rentan terjadi kompromi dan aneka transaksi yang mengkomoditaskan kepentingan (politik).


Terdistorsinya lembagai legislative menjadi lembaga perwakilan rakyat, ternyata tidak mampu menangkap jiwa hukum masyarakat yang diwakili. Wakil rakyat harusnya mengabstraksikan jiwa hukum yang terdapat dalam suasana kebatinan masyarakat menjadi kaedah hukum yang mempunyai legitimasi untuk menjadi hukum. yang terjadi adalah agregasi kepentingan dengan melalaikan jiwa hukum bahkan enggan menggali suasana kebatinan masyarakat dengan menghamba kepada pembeli hukum yang menginginkan hukum berpihak pada mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline