Tragedi Buol, disebut tragedi karena peristiwa ini berasal dari permasalahan keseharian yang mungkin bisa terjadi di wilayah NKRI. Peristiwa keseharian yang dimaksud adalah peristiwa kecelakaan yang diduga melibatkan masyarakat dan aparat POLRI. Kemudian anggota masyarakat tersebut di tahan, dan disinilah yang menjadi pemicu yaitu individu yang ditahan meninggal dunia. Meninggalnya salah satu saudara, teman, atau tetangga masyarakat Buol melahirkan solidaritas kelompok atau ikatan persaudaraan senasib sepenanggungan.
Amuk massa menjadi output yang berproses dari peristiwa keseharian dan berubah menjadi tragedi. Tragedi peristiwa keseharian, dapat dilihat dalam konteks rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum yaitu POLRI. Tentunya sebelum terjadi amuk massa tahap pertama, ada penjelasan dari Polres setempat berkaitan dengan meninggalnya tahanan. Penjelasan yang dilakukan ternyata tidak digubris oleh publik yang sudah sarat dengan amarah.
Penjelasan nalar yang dilakukan oleh POLRI tidak cukup bisa sejalan dengan nalar massa. Nalar massa dg 'sumbu pendek'nya menyatakan bahwa tahanan yang mati pasti akibat dianiaya oleh anggota POLRI. Sehingga terjadilah amuk massa atau kerusuhan dalam bentuk penyerangan ke kantor POLRES dan rumah wakapolres Buol.
Mengapa nalar massa berubah menjadi beringas yang termanifestasi dalam amuk massa? Jawabannya adalah tingkat kepercayaan publik terhadap POLRI. Tingkat kepercayaan dengan derajat rendah (kalau tidak mau dikatakan tidak ada) didasarkan pada pengalaman relasi yang terbangun. Pengalaman berelasi antara masyarakat dan POLRI, menempatkan POLRI sebagai pihak 'tertuduh' penyebab kematian tahanan.
Tragedi Buol jangan semata dilihat sebagai aksi anarkhisme massa, melainkan ada latar belakang yang tidak tertahankan sebagai hasil interaksi dengan POLRI. Massa tidak akan serta merta mudah terbakar amarahnya, kemudian melakukan perlawanan dalam bentuk pembakaran, perusakan dan blokade apabila tidak ada potensi amarah. Potensi amarah inilah yang perlu dicari tahu, dimana salah satunya terdapat pada perilaku keseharian (anggota) POLRI sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Distorsi tugas POLRI menjadi ingatan publik yang bersifat negatif, dan membentuk sikap tidak senang terhadap POLRI.
POLRI harus berefleksi, dengan melakukan instropeksi. Meskipun tidak mentolerir aksi anarkhis, tetapi perlu merenung mengapa masyarakat menjadi beringas terhadap POLRI?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H