Sebelum menyampaikan gagasan mengenai kasus video mirip LM (Luna Maya)/CT (Cut Tari) dan AP (Ariel Peterpan), perlu dikemukakan beberapa klarifikasi. Pertama, bahwa saya bukan seorang ahli hukum pidana atau seorang sarjana hukum yang mengkhususkan diri pada pendalaman hukum pidana. Sehingga dalam menyampaikan gagasan dan/atau membedah kasus ini tidak akan melihat dalam perspektif hukum pidana an sich, melainkan mencoba menyampaikan argumentasi yuridis terkait kasus tersebut. Kedua, bahwa terdapat sebuah paradoks dalam pemberitaan kasus video tersebut oleh infotaiment, penolakan publik yang ditampilkan oleh media elektronik dengan kenyataan yang terjadi di akar rumput akibat dari pemberitaan tersebut. Ketiga, bahwa terdapat suatu ancaman serius dari kehidupan pribadi ketika seseorang menjadi publik figur. Dalam hal ini akan berpotensi terjadi silang sengkarut antara rahasia kehidupan pribadi dengan transparansi dalam konteks pelaksanaan good governance. Rahasia kehidupan pribadi merupakan sebuah hak individu, apabila informasi tersebut terkait dengan kehidupan publik dan jabatan publik yang (akan) diembannya maka sebagai konsekuensi dari good governance, informasi pribadi tersebut perlu diungkap. Klarifikasi pertama terkait dengan isu hukum yang menyertai kasus video mirip ini, yaitu siapakah pihak yang harus bertanggung jawab di depan hukum? Apakah LM, CT, AP yaitu individu yang diduga mirip aktor dalam video tersebut ataukah individu yang menyebarluaskan video tersebut baik dengan atau tanpa sepengetahuan aktor dalam video tersebut. Apakah aktor dalam video tersebut dapat dinyatakan melanggar pasal-pasal yang dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan dalam KUHP? Ataukah bahwa yang harus bertanggung jawab adalah individu yang menyebarluaskan video porno tersebut? Dalam Bab XIV KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan tidak ditemukan pasal yang dapat digunakan untuk menjerat para aktor dalam video tersebut. Apabila si aktor cowok hendak dikategorikan sebagai pelaku percabulan maka harus terpenuhi unsur-unsur antara lain [1] sudah menikah (KUHP menggunakan istilah telah kawin); [2] mengancam dengan kekerasan; [3] bersetubuh dengan wanita diluar perkawinan, namun wanita tersebut dalam keadaan pingsan; [4] bersetubuh dengan wanita di bawah umur. Dari keempat kriteria tersebut, aktor dalam video tersebut kesulitan untuk dipidanakan. Bagaimana dengan Undang-Undang lain? Mari kita lihat UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Apakah para pelaku dalam video tersebut dapat diminta bertanggung jawab berdasarkan UU Pornografi? Menurut undang-undang tersebut, pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Mengacu ketentuan tersebut maka video yang berisi adegan persetubuhan (hubungan badan antara suami dan istri) dapat dikategorikan sebagai pornografi, karena memuat kecabulan atau eksploitasi yang melanggar norma kesusilaan. UU Pornografi dapat menjadi 'senjata' bagi penegak hukum dalam menjerat pelaku dalam video tersebut. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyatakan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: [a] persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; [b] kekerasan seksual; [c] masturbasi atau onani; [d] ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; [e] alat kelamin; atau [f] pornografi anak. Dari ketentuan tersebut maka video ini memenuhi unsur membuat pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan. Dan perbuatan ini diancam pidana minimal 6 (enam) bulan dan maksimal 12 (dua belas) bulan (Pasal 29 UU Pornografi). Dengan demikian Polisi dapat menggunakan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 UU Pornografi untuk menjerat LM, CT dan AP. Pun demikian terhadap pelaku yang menyebarluarkan video tersebut. Bahkan untuk pelaku yang menyebarluaskan dapat juga dijerat dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Khususnya Pasal 27 yang menyatakan bahwa termasuk sebagai perbuatan yang dilarang adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. [caption id="attachment_162689" align="alignleft" width="256" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Pasal 45 ayat (1) UU ITE menentukan bahwa Pasal 27 dapat dipidana paling lama 6 (enam) tahun terhadap orang yang tanpa hak mendistribusikan atau menyebarluaskan informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dalam hal demikian, orang atau individu yang menyebarluaskan video dapat dipidana. Dan ini melahirkan klasifikasi penyebarluasan yaitu orang yang pertama kali menyebarluaskan dan orang yang mendapat video kemudian menyebarluaskan. Untuk kategori kedua ini, memungkinkan banyak orang yang menyebarluaskan. Dititik ini, media yang menyiarkan infotaiment dapat menjadi sarana yang mempunyai andil terbentuknya keingintahuan publik (public curiosity). Media menjadi pihak yang turut mendorong penyebarluasan video dengan modal keingintahuan yang menghinggapi publik di seantero Indonesia. Saat ini video tersebut menjadi 'the most wanted video' di kalangan masyarakat dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi seperti mobile phone. Orang dengan mudah memindah file hanya dengan melalui bluetooth yang ada dalam handphone. Pertanyaannya adalah apakah orang-orang ini dapat dikategorikan sebagai pihak yang menyebarluaskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UU ITE? Pertanyaan tersebut muncul karena tergelitik dengan dasyatnya animo publik untuk memuaskan rasa keingintahuan atau kepenasarannya terhadap video tersebut. Dan rasa keingintahuan tersebut terbentuk karena masif atau intens-nya pemberitaan seputar video tersebut di media elektronik selama beberapa hari ini. Bahkan perlu di razia terhadap handphone aparat kepolisian, apakah memuat file video tersebut atau tidak? Dua paragraf di atas, tidak hanya ingin sekedar mengungkap betapa rumitnya untuk menentukan kriteria penyebarluasan tetapi juga kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak atas privasi yang dimiliki oleh aktor yang dimiripkan dalam video tersebut. Saat ini, pemberitaan di media elektronik maupun media online dengan skala prosentase menyatakan kemiripan dengan selebritis presenter maupun penyanyi. Dengan menggunakan asumsi tersebut, yaitu bahwa pendapat para pakar telematika yang diungkap oleh media elektronik dan online dapat dinyatakan sebagai kebenaran maka pelanggaran terhadap hak atas privasi (the rights to privacy) menjadi 'tsunami' kehidupan pribadi para aktornya. Dengan asumsi bahwa [1] memang ada peristiwa sebagaimana terekam dalam video tersebut yang dilakukan oleh aktor (siapapun dia) dan [2] aktor tersebut bermaksud adegan atau peristiwa yang direkam tersebut sebagai dokumen pribadi, bukan sebagai 'alat produksi' yang bertujuan untuk disebar luaskan. Maka pengungkapan kasus ini akan berpusat pada pihak yang menyebarluaskan video tersebut. Dan tentunya Polisi akan fokus pada orang pertama yang dapat mengakses video dan menyebarluaskan sebagaimana diatur dalam UU ITE maupun UU Pornografi. Tetapi pertanggung jawaban tersebut tidak bisa sampai disini, bagaimana dengan dampak pemberitaan yang masif dan intens oleh media elektronik dan media online yang membentuk rasa keingintahuan publik? Dan rasa keingintahuan publik tersebut membentuk jejaring penyebarluasan video tersebut. Pernyataan terakhir tersebut menjadi isu yang tidak bisa diselesaikan ketika pihak pertama yang dapat mengakses video dan menyebarluaskannya tertangkap dan dihukum. Apakah UU ITE dan UU Pornografi juga dapat menjangkau individu atau orang yang menyebarluaskan video tersebut diwilayah lokal tertentu? Permasalahan dari pertanyaan terakhir menjadi bagian dari mencari upaya rehabilitasi kerahasiaan pribadi yang terlanjur diungkap ke publik melalui bantuan media maupun teknologi informasi. Artinya bahwa terendusnya video ini telah menjangkau rahasia pribadi seseorang dan dapat merusak reputasi orang tersebut. Padahal sebagaimana diasumsikan diatas bahwa video tersebut adalah koleksi pribadi dan tidak dimaksudkan untuk disebarluaskan. Berbeda halnya dengan foto-foto yang diupload di facebook dengan berbagai pose baik yang seronok maupun tidak seronok. UU Pornografi dan UU ITE dapat 'menjangkau' individu yang mengupload foto tersebut. Dengan memang satu hal yang terungkap adalah moralitas dari aktor yang terdapat dalam video tersebut. Tetapi apakah hukum dapat menjangkau moral tersebut apabila aktualisasi moral tidak mengganggu ketertiban sosial. Dalam hal ini bahwa aktor tidak bermaksud mengganggu ketertiban sosial dengan moralitas perilakunya, melainkan individu yang menyebarluaskan dan media mempunyai andil dalam membentuk rasa keingintahuan publik-lah yang juga dipertanyakan moralitasnya. Dalam hal ini, individu-individu lain yang ingin memuaskan rasa keingintahuan dengan berdaya upaya memperoleh video tersebut juga perlu dipertanyakan moralitasnya. Bahwa mungkin saja terjadi kemunafikan sosial yang sedang menghinggapi masyarakat. Dimana satu sisi mengecam perilaku aktor dalam video tersebut, namun dalam ruang sepi dan samar berusaha mencari atau melihat videonya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H