Lihat ke Halaman Asli

Drama Anomali Prinsip Equality Before The Law

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada dua peristiwa yang berpotensi melahirkan pertanyaan tentang pelaksanaan equality before the law, yaitu [1] rencana KPK untuk melakukan pemeriksaan atas Sri Mulyani dan Boediono di kantor mereka; dan [2] Nunun Nurbaeti yang bisa keluar negeri seolah mampu menghindari dari kewajiban hadir di persidangan sebagai saksi dalam korupsi pemilihan Dewan Gubernur BI. Dua peristiwa yang menjadi titik tolak dari tulisan ini adalah salah satu contoh dari anomali prinsip equality before the law.

Equality before the law (EBTL) adalah bagian dari rule of law atau diterjemahkan sebagai negara hukum. Menurut wikipedia, equality before the law adalah the principle under which each individual is subject to the same laws, with no individual or group having special legal privileges. Setiap warga negara tidak boleh ada yang menikmati keistimewaan dalam setiap proses penegakan hukum. Apabila ada terjadi kebalikan maka pengingkaran terhadap prinsip EBTL melahirkan diskriminasi dan strata-isasi dalam kedudukannya di depan hukum.

Prinsip EBTL tertuang dalam teks tertulis dalam setiap peraturan baik nasional maupun internasionl. UUD 1945 juga mengakui prinsip ini, tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Mengacu pada pemikiran AV. Dicey, bahwa EBTL adalah the second meaning of rule of law (Kamaludin Khan; http://www.twocircles.net/book/export/html/135429). Pengertian EBTL dalam konteks rule of law adalah 'no man above the law', every man whatever be his rank or condition is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the jurisdiction of the ordinary tribunals.'

Negara hukum akan menempatkan warga negara-nya setara atau sama kedudukannya di depan hukum (band. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Kesetaraan kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. 'No man above the law', artinya [1] tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum; [2] kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.

EBTL menjadi jaminan untuk mencapai keadilan (hukum), tanpa ketiadaan pihak yang bisa lepas dari hukum ketika melakukan terlibat dalam proses penegakan hukum. Jaminan perlindungan hukum tersirat dalam prinsip EBTL, yaitu tidak hanya jaminan mendapatkan perlakuan yang sama tetapi juga jaminan bahwa hukum tidak akan memberi keistimewaan subyek hukum lain. Karena kalau terjadi demikian maka dapat melanggar prinsip EBTL dan mendorong terciptanya diskriminasi di depan hukum.

Dalam Pasal 26 International Convenants Rights menyatakan, 'all person are equal before the law and are entitled without any discrimination to the equal protection of the law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection againts discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political, or other opinion, national or social origin, property, birth or other status'. Subyek hukum dalam prinsip EBTL diberi perlindungan dari berbagai diskriminasi (hukum) baik aspek substansi hukumnya atau penegakan hukum oleh aparatnya.

(Rencana) perlakuan KPK terhadap Boediono dan Sri Mulyani bisa menjadi anomali prinsip EBTL dan pengingkaran terhadap konsep negara hukum dalam UUD 1945. Negara hukum mengalami keanehan penerapan ketika bersinggungan dengan penguasa. Boediono dan Sri Mulyani yang masih duduk sebagai wapres dan menteri melunturkan kewibawaan hukum. Pelunturan kewibawaan hukum ini terjadi ketika KPK gagal menjamin pelaksanaan non diskriminasi dalam penegakan hukum dan pemberian perlindungan atas subyek hukum menjadi 'berat sebelah'.

Dalih menjaga kewibawaan simbol negara menjadi penggalian terhadap 'liang lahat' konstitusi khususnya Pasal 1 ayat (3) yang menempatkan hukum dibawah bayang-bayang kekuasaan. Prinsip EBTL mengalami keanehan dalam penerapannya. KPK yang akan memeriksa Boediono dan Sri Mulyani di kantor mereka bisa berpotensi melanggar ketentuan Pasal 3 UU KPK, 'Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun'.

Pemeriksaan subyek hukum dimanapun adalah menjadi kewenangan KPK, termasuk penggeledahan atau tertangkap tangan. Dalam konteks pemeriksaan Boediono dan Sri Mulyani dapat mengalami bias independensi dan ketertundukan terhadap kekuasaan. Dalih menjaga kewibawaan simbol negara menjadi pelunturan kewibawaan KPK dengan independenitasnya dan terbebasnya pengaruh kekuasaan yang menjadi kekuatan legal-nya.

Pemeriksaan ditempat kerja terperiksa melahirkan diskriminasi subyek hukum lain yang selalu mengalami pemeriksaan di kantor KPK. Dan diskriminasi ini akan mengkonstruksi kegagalan KPK dalam memberikan (jaminan) perlindungan hukum bagi warga negara. Karena berdasarkan konsepsi negara hukum, maka hukum harus mampu menempatkan subyek hukum setara dan ketiadaan suasana diskriminasi dalam proses penegakan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline