Sinta adalah sahabat karibku. Bisa dibilang dilahirkan dari satu rahim. Kami berpisah karena pilihan masing-masing. Kata-kata indahlah yang kami rangkum menjadi kekuatan kami untuk berpisah.
“Proses tidak mengkhianati hasil,” katanya kalah itu. Aku hanya terbayang padanya dalam sepinya malam ini. Rangkulanku, entah mampu ataupun tak sampai, selalu terbayang dalam sanubariku. Kenapa! Semuanya hampa. Aku merasa eksistensiku nihil. Tubuh dan jiwaku selalu terpisah. Ketika bayanganku kembali, kusadari kemudian. Ketika aku sadar, tempat yang kududuki basah dipenuhi genangan air. Hujah? Gumam batinku sembari berdiri mencari tempat kering di bawah pohon matoa.
Tak lama merenung, hujan semakin deras menjatuhkan air dari langit. Tak ada pilihan selain Kembali ke rumah. Secepat kilat kumelangkah, saat hujannya redah. Beberapa menit kemudian, tibalah aku di tempat seorang sahabat. Anton, namanya. Sudah lama aku mengenalnya, saat di mana mengalami suka dan duka hidup sebagai mahasiswa di tanah rantau. Namun dia telah mendapatkan tempat yang bisa menopang hidupnya.
“Tok…tok….” Pintu perlahan terbuka.
“Hei! Sudah lama menunggu? Silakan masuk,” lanjutnya memerintah, mempersilakan aku masuk.
“Belum juga, semenit kok,” jawabku.
“Oh ya, bagaimana hubungan kamu sama Sose, apa masih lanjut?
Aku tidak langsung membalas pertanyaannya. Rasanya berat untuk kuungkapkan. Memang benar, apa kata orang. Cinta itu tidak semuda membalikkan telapak tangan. Kini kusadari, kehampaan menghampiri diriku.
“Sudah Lama kutinggalkan dia, pesan itulah yang selalu kubawa. Proses demi proses kulakoni, hampa dan kosong tanpa jejak dan makna,” lanjutku setelah kusampaikan kekeringan dan kehampaan itu pada Anton,”
Dia diam beberapa saat, kepalanya menunduk memikirkan jalan keluarnya.
“ada lagi yang mau disampaikan?” Tanyanya seketika.