Setelah peristiwa Gestapu pada 30 September 1965, situasi sosial dan politik Indonesia menjadi tidak menentu. Demonstrasi untuk menuntut pembubaran PKI terjadi dimana-mana. Namun sayang, Soekarno menolak semua tuntutan itu dan justru membubarkan organisasi-organisasi yang menuntut pembubaran PKI. Sikap yang demikian membuat Soekarno semakin lemah kekuatan politiknya. Terlebih ada suatu anggapan di lingkungan Angkatan Darat bahwa Soekarno sejatinya terlibat dalam peristiwa Gestapu. Jenderal Abdul Haris Nasution adalah yang paling ngotot supaya Soekarno juga diseret ke Mahmillub, namun Soeharto menahannya dan memilih agar akhusus untuk Soekarno, diselesaikan secara politik.
Situasi nasional yang demikian itu pada akhirnya memaksa Soekarno untuk mengeluarkan sebuah dekrit yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966. Isinya, supaya Soeharto mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memulihkan keadaan demi keamanan dan ketenangan jalannya pemerintahan dan revolusi serta keselamatan pribadi Presiden. Dekrit Presiden itu kemudian diperkuat dengan dengan dikeluarkannya TAP MPRS No.9 tahun 1966 dan TAP MPRS No.27 tahun 1966 tentang pembubaran PKI semakin menunjukkan bahwa dukungan politik dan militer kepada Soekarno sudah sangat lemah.
Pada 22 Juni 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum ke-4 dan Soekarno dimintai pertanggungjawabannya mengenai sikapnya terhadap peristiwa Gestapu. Namun bukannya menyinggung peristiwa Gestapu, Soekarano malah memberikan amanat seperti apa yang dilakukannya pada siding-sidang lembaga yang berada di bawah tanggungjawabnya. Karena pidato Presiden Soekarno dianggap tidak memuaskan, MPS mengirim nota kepada Soekarno untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Singkat cerita, baik pidato Nawaksara dan pidato Pelengkap Nawaksara itu tetap ditolak oleh MPRS karena tidak memenuhi harapan anggota MPRS dan bangsa pada umumnya. Dalam dua pidatonya itu, Soekarno tidak menjelaskan secara terperinci mengenai peristiwa Gestapu, kemunduran ekonomi, dan kemorosotan Akhlak. Pasca ditolaknya pertanggungjawaban Beliau, jatuhnya Presiden Soekarno pun tinggal menghitung hari.
Setelah keluar surat dari MPRS agar Soekarno meninggalkan Istana Merdeka, Soekarno pada awalnya tinggal di rumah Fatmawati. Namun hal itu tidak berlangsung lama sebab setelah itu Soekarno dijadikan tahanan politik. BJ Habibie pernah menanyakan hal ini kepada Soeharto, mengapa Soeharto tega sekali melakukan itu kepada Soekarno. Jawab Soeharto, hal itu memang diperlukan untuk mengamankan Soekarno, sebab jika dibiarkan lepas begitu saja, dikhawatirkan terjadi perang saudara. Jawaban Soeharto, buat saya, memang masuk akal. Sebab Soekarno sesungguhnya memang masih memiliki kekuatan politik dari para pendukung gagasan Nasakom yang jika dibiarkan berkeliaran, akan membentuk suatu kekuatan massa yang nantinya akan berhadapan dengan militer dan massa anti Nasakom sehingga akan mengakibatkan terjadinya perang saudara.
Ketika keadaan kesehatan dan keuangan Soekarno semakin memburuk, Beliau kemudian pindahkan ke Wisma Yaso atas perintah langsung Soeharto. Maksud Soeharto adalah supaya penyakit Soekarno bisa ditangani lebih baik. Namun yang terjadi malah sebaliknya, disana, Soekarno justru lebih menderita dan lebih dibatasi gerakannya. Banyak orang berpandangan bahwa demikianlah cara Soeharto menyiksa dan mengakhiri hidup Soekarno, namun buat saya, pandangan ini sungguh tidak tepat. Soeharto adalah orang yang sangat menghormati Soekarno.
Bukankah Soeharto yang telah menyelamatkan Soekarno dari Mahmillub? Bukankah Soeharto yang enggan memberontak ketika rekan-rekannya sesama perwira tinggi Angkatan Darat ingin merebut kekuasaan pemerintah dari Soekarno? Bukankah Soeharto yang memberi gelar pahlawan proklamator pada Soekarno ketika banyak politikus yang menolak gelar pahlawan disematkan pada Soekarno? Bukankah Soeharto pula yang menamai bandara utama Indonesia dengan nama Soekarno?
Jadi amat tidak masuk akal bahwa Soeharto dengan sengaja melakukan itu semua pada Soekarno. Hal yang paling mungkin untuk dikatakan adalah bahwa niat baik Soeharto untuk Soekarno rupanya telah diselewengkan oleh bawahan-bawahan Soeharto yang terdiri dari militer dan politikus anti Nasakom yang tidak suka dengan Soekarno. Adapun Soeharto yang merupakan seorang Presiden, di tengah kacaunya situasi sosial, politik, dan ekonomi, tentu lebih berkonsentrasi pada pemulihan keadaan dan kepentingan rakyat banyak ketimbang memikirkan nasib seorang saja yang itupun telah didelegasikan pengurusannya pada bawahan-bawahannya. Tidak mustahil juga untuk mengatakan bahwa laporan-laporan dan kebutuhan-kebutuhan Soekarno yang katanya ditahan selama di Wisma Yaso itu memang sengaja ditahan untuk disampaikan kepada Soeharto.
Pada akhirnya, sejarah adalah sejarah. Apa yang terjadi antara Soekarno dan Soeharto adalah persoalan politik saja, sama seperti persoalan antara Soekarno dan Kartosuwiryo yang merupakan sahbat kecilnya namun dihukum mati sendiri oleh Soekarno. Hal-hal yang semacam ini tidak perlu didramatisir. Janganlah tenaga kita dihabiskan pada urusan politik antara dua orang di masa lalu. Baik Soekarno dan Soeharto, telah berbuat banyak pada bangsa dan negara ini, dengan cara dan gaya masing-masing yang khas. Sebagai generasi penerus, tugas kita adalah fokus mempelajari perbuatan keduanya, bukan pribadi keduanya. Apa yang benar dilanjutkan dan apa yang salah semoga tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H