Biaya pengobatan di Indonesia tergolong mahal karena sistem pembiayaan kesehatannya yang sangat liberal, diserahkan ke mekanisme pasar. Akhirnya masyarakat yang harus membayar sangat mahal, yang untung adalah para pemilik bisnis, sementara para tenaga kesehatannya dibayar murah. Jadi jangan salahkan dokter jika biaya pengobatan mahal, ini sudah di luar kemampuan mereka untuk memperbaikinya. Di LN yang pembiayaan kesehatannya diatur, masyarakat membayar via pajak, iuran, atau asuransi kesehatan nasional & tenaga kesehatannya dibayar layak, sementara pelaku bisnis di bidang pelayanan kesehatan untungnya wajar, tidak 'gila' seperti di Indonesia.
Itu teorinya, sekarang apa hal praktisnya? Jika masih membayar sendiri, maka hindari penggunaan 'paket'. Mengapa? Paket dihitung dengan asumsi termahal. Mana ada pedagang mau rugi? Kalau ada yang melebihi asumsi tersebut, dengan berbagai macam cara pasti RS minta tambahan. Contoh, seorang pasien saya rujuk untuk kuret di salah satu RS swasta papan atas beberapa waktu lalu. Pihak RS menawarkan 'paket' seharga Rp 7 juta. Pasiennya tanya ke saya via telepon, apa ambil paket? Saya jawab: tidak, kemahalan. Akhirnya dia 'mengecer', apalagi keuangan dia terbatas. Saya minta dia untuk catat semua obat yang diberikan & dicocokkan dengan tagihan. Saat keluar RS, biaya yang harus dia bayar Rp 3,6 juta. Itu pun sebetulnya masih bisa ditekan setelah dia kirim salinan rincian tagihannya, tapi tidak bisa lagi karena banyak yang sudah terjadi/dipakai.
Dalam pemeriksaan lab, sering kali lab mengiming-imingi paket pemeriksaan yang katanya diskon besar kalau dibayar terpisah-pisah. Sekali lagi, mana ada dagang mau rugi? Saya perhatikan, banyak pemeriksaan tersebut menyelipkan pemeriksaan yang tidak laku atau tingkat kegunaannya sudah sangat kurang, tapi biaya pemeriksaannya mahal. Yang benar adalah diperiksa sesuai kebutuhan/indikasi dengan didahului pemeriksaan dokter yang benar, ini yang logis & hemat.
Lebih parah lagi kalau pihak industri tau bahwa yang bayari tagihan itu bukan orangnya, tapi asuransi swasta atau perusahaan. Biasanya 'pembobolan' lebih besar lagi karena pasiennya tidak urusi tagihan, sementara perusahaan tidak punya kemampuan untuk mengecek tagihannya. Asuransi biasanya 'tutup mata' & bayar karena malas ribut dengan nasabah yang bisa buat mereka 'kabur'. Bisa dibayangkan berapa banyak kerugiaannya? Yang jangan dilupakan, ini semua akhirnya dibayar oleh siapapun konsumen dari perusahaan tersebut & nasabah asuransi kena premi yang lebih mahal. Sekali lagi, mana ada pedagang yang mau rugi?
Ketika saya pernah beberapa kali diminta oleh teman-teman yang bekerja di beberapa perusahaan besar untuk cek tagihan bidang kesehatannya, saya bisa simpulkan bahwa mereka sudah 'dirampok'. Setelah saya coba susun ulang standar & anggarannya, ternyata pengeluaran mereka bisa berkurang sampai lebih dari separuhnya.
Beberapa rekan/pasien saya yang harus menjalani pengobatan berbiaya mahal pun sudah 'dirampok' dengan tagihan yang tidak masuk akal. Sudah keluar biaya besar seperti itu, apa pelayanan yang diterima jadi bagus? tidak juga. Betul-betul rugi beberapa kali. Beberapa dari mereka akhirnya saya awasi langsung pengobatannya, pengeluarannya bisa ditekan banyak & kualitas pelayanannya meningkat karena yang kerja merasa diawasi jadi kerja lebih serius.
Semoga berguna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H