Menurut hemat saya, presiden keenam Indonesia SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Presiden ketujuh Jokowi (Joko Widodo), memiliki kesamaan subjek orientasi dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia pada tingkat yang tinggi-tingginya dan seutuhnya, adalah, salah satu pendekatan utama, yaitu, melalui pembangunan berbasis maritim yang digagas pemerintah. Lalu di mana perbedaan, sehingga muncul kritik dari SBY terhadap pembangunan maritim yang digagas pemerintah presiden Jokowi, dan hal inilah yang akan dijelaskan dalam tulisan singkat ini.
Apa perbedaan konteks hanya “retorika” atau bukan“retorika” dalam pembangunan maritim Indonesia. Dalam konteks pembangunan maritim yang bukan “retorika”, menurut SBY, dibutuhkan aksi nyata untuk mewujudkannya, dalam bentuk kebijakan dan program untuk seluruh Indonesia. Artinya, tersedia dokumen yang telah disepakati bersama, dan menjadi pedoman umum dalam pembangunan maritim Indonesia. SBY menegaskan bahwa pembangunan maritim without action, without policy, without actual programs, to be implemented. Bila kita jujur, dalam konteks ini, SBY ada benarnya, karena Jokowi tidak memiliki dokmen rencana seperti yang disampaikan SBY.
Dalam konteks “das sein”, Jokowi juga betul, tidak diharuskan menyusun rencana pembangunan, situasi saat ini Indonesia tidak menganut sistem perencanaan terpusat seperti pada pemerintahan era orde baru yang mana presiden adalah mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Saat ini, presiden hasil pilihan rakyat menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan semua sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana yang telah disampaikan pada masa kampanye. Selain itu, saat ini sebagian besar keputusan pembangunan telah berada di daerah (propinsi, kabupaten, kota).
Kecuali bila melangggar konstitusi dan Undang-Undang Dasar, maka presiden melanjutkan masa jabatannya selama 5(lima) tahun, dan hukuman bagi presiden bila tidak tercapai seperti yang telah disampaikan pada masa kampanye, yaitu, tidak akan dipilih rakyat lagi pada periode berikutnya. Boleh dikatakan, presiden Indonesia saat ini adalah kebal kritik, karena yang menilai adalah rakyat secara keseluruhan bukan secara perorangan. Karena masalah ketiadaan dokumen perencanaan terpadu nasional (khususnya jangka panjang), maka muncul usul untuk menghidupkaan kembali GBHN (Garis-Haris Besar Haluan Negara) seperti pada era orde baru, sekalipun tidak ada jaminan manfaat optimal atas GBHN seandainya ada.
Di samping itu, SBY memberi kesan bahwa pembangunan maritim masih belum terdefenisi dengan cermat. Dalam orasi ilmiah pada acara wisuda Universitas Al Azhar Indonesia, di gedung Manggala Wanabakti, Sabtu (27/8/2016), SBY menyampaikan bahwa, saya sering mendengar, kita ini bangsa maritim, negara kepulauan, wajib hukumnya, harga mati, pembangunan kita harus berwawasan maritim. SBY menambahkan, pemerintah harus seimbang dalam melaksanakan pembangunan, tidak hanya fokus di darat. Karenanya, pemerintah semestinya memiliki konsep pembangunan yang berbeda, antara wilayah kepulauan dan daratan.
Dalam uraian tersebut, SBY menyampaikan bahwa pembangunan Indonesia disusun secara seimbang, sehingga tidak fokus pada satu sektor semata. Kritik seperti ini adalah wajar dalam konteks Indonesia yang pluralisme, ketimpangan kesejahteraan, budaya, dan sumberdaya yang berbeda. Tidak salah bila Jokowi terbuka menerima kritik ini dengan menyusun kebijakan sehingga terwujud pembangunan daerah berdasarkan keunggulan daerah (regional comparative advantages).
Dalam konteks pembangunan maritim Indonesia, setelah mengamati apa yang telah disampaikan SBY dan apa yang sedang dilakukan Jokowi, kelihatannya apa yang disampaikan SBY bukan hanya “kritik”, tetapi saling melengkapi, dan semoga kabinet kerja Jokowi makin sukses dalam mewujudkan Indonesia yang makin sejahtera ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H