Perguruan maung Karuhun adalah perguruan silat yang sangat terkenal di wilayah Kampung Cikaret. Bahkan terkenal sampai ke kampung-kampung lainnya. Banyak para pemuda, baik yang berasal dari kampung Cikaret sendiri maupun kampung lainnya belajar silat di perguruan tersebut. Namun karena Jaka Someh adalah seorang yang kuper, meskipun berasal dari Kampung Cikaret sendiri dia tidak mengetahui tentang Perguruan tersebut.
Mang engkos kemudian bercerita kepada Jaka someh, tentang sosok Ki Jaya Kusuma yang memiliki perawakan tinggi yang besar dan mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sangat luar biasa. Konon katanya, dia memiliki Jari-jari yang sangat kuat, yang diperoleh dari latihan khusus jurus cakar harimau yang terkenal ganas. Sorot matanya juga sangat tajam seperti sorot mata harimau yang sedang marah. Membuat orang lain menjadi segan untuk berurusan dengannya. Mendengar penjelasan Mang Engkos tersebut, Jaka Someh menjadi semakin mantap untuk berguru kepada Ki Jaya Kusuma.
Keesokan harinya, Jaka Someh bersiap untuk berangkat menuju perguruan Maung Karuhun. Tekadnya sudah sedemikian kuat untuk belajar silat kepada Ki Jaya Kusuma. Dia ingin menjadi seorang pendekar hebat yang di takuti oleh musuh-musuhnya. Jaka Someh membayangkan kalau suatu saat nanti dia akan menjadi pendekar yang sakti. Dia akan membalas perbuatan jahat Ki Marta dan kawan-kawannya yang telah menganiayanya.
Sebenarnya perguruan Maung Karuhun masih satu kampung dengan gubuk Jaka Someh, namun perjalanan untuk mencapai perguruan tersebut ternyata memakan waktu sampai setengah harian.
Karena tidak memiliki uang sepeserpun, Jaka someh menyiapkan bekal yang dibuatnya sendiri. Berupa nasi timbel, yaitu nasi yang di bungkus dengan daun pisang, di tambah dengan lauk pauk seadanya, seperti pepes peda dan sambal bawang.
Bekal makanan dan sepasang pakaian yang bersih sudah disimpan dalam sarung bututnya. Setelah semuanya telah siap, Jaka someh kemudian segera meninggalkan gubuk sederhana miliknya.
Satu jam lebih, Jaka Someh sudah berjalan. Dia telah melewati area pesawahan dan hutan kayu yang sudah nampak mengering. Dia berjalan di sebuah jalan setapak, di atas sebuah bukit yang di apit oleh dua buah jurang kecil. Meskipun jalanannya tampak sepi, tapi Jaka Someh menikmati perjalanan tersebut. Pemandangan yang hijau dan indah sangat memanjakan matanya.
Tak terasa sudah empat jam Jaka someh berjalan, Dia pun mulai memasuki lahan perkebunan kopi dan cengkeh milik warga. Hanya butuh satu jam saja Jaka someh berjalan menyusuri areal perkebunan tersebut, selanjutnya dia pun sudah memasuki area pemukiman warga.
Di sana banyak sekali rumah panggung milik warga. Rumah yang berdindingkan bilik dari bambu. Terlihat ada beberapa warga yang sedang menjemur gabah padi yang baru saja di panennya. Mereka menjemur di atas media tikar yang terbuat dari anyaman daun kelapa.
Beberapa orang, terlihat sedang duduk santai di dalam rumahnya, sambil di temani kopi dan camilan goreng pisang ataupun kue rengginang. Beberapa anak terlihat sedang bermain bersama teman-temannya. Mereka sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri, tidak peduli dengan Jaka Someh yang saat itu sedang berjalan santai ke arah barat kampung mereka.
Namun tanpa Jaka Someh sadari, ada sepasang mata yang semenjak tadi mengawasi gerak-geriknya. Usianya yang sudah paruh baya membuatnya menjadi agak sedikit pelupa, namun matanya merasa tidak asing dengan paras dan cara jalan Jaka Someh, hal itu mengingatkannya pada salah satu sahabat karibnya ketika masih muda. Dia adalah Pak Rohadi, jaro di kampung itu. Jaro adalah gelar untuk sebutan kepala kampung.