Lihat ke Halaman Asli

Yadi Pebri

#MerawatSilaturahim

Juni Sebagai Hari Lahir Pancasila dalam Perspektif Pemuda

Diperbarui: 1 Juni 2020   01:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.kompasiana.com/yadipebri

Bismillahi Ar-rahman Ar-Rohim
Bangsa Indonesia dengan segenap potensi yang ada, merupakan bangsa yang besar dan kaya. Memiliki keuntungan demografi, dengan posisi strategis di antara jalur-jalur distribusi barang dan jasa internasional, dan memiliki SDA hayati dan non-hayati yang melimpah serta diberkahi dengan sumber energi yang seakan tak ada habisnya. Tepat apabila dijuluki sebagai kawasan pemenang (the winning region), karena negara ini memiliki segalanya.

Kebesaran bangsa Indonesia dengan segala sumber dayanya itu sangat rentan menjadi negara yang hancur dan gagal (failed state). Keanekaragaman baik dari suku, agama, maupun golongan sangat mudah memicu terjadinya disintegrasi bangsa.

Belajar dari sejarah dunia, sejak 1991 tercatat 3 negara terpecah oleh konflik yang disebabkan bahasa, ekonomi, dan agama. Hasilnya, 23 negara baru memproklamasikan diri dengan warisan konflik yang berkepanjangan. Sebut saja Yugoslavia, Sudan, dan Uni Soviet.

Pengalaman sejarah menunjukkan beberapa kali Indonesia juga pernah diterpa dengan perpecahan antar-anak bangsa. Namun, pada akhirnya negara ini mampu untuk bertahan. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia memiliki alat pemersatu bangsa (national cohesion) yang terbentuk secara alamiah dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Lihat saja pada zaman majapahit, Mpu Tantular di dalam Kitab Sutasoma telah menuliskan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang mengisahkan bahwa pada masa itu tidak ada perselisihan sedikitpun yang disebabkan perbedaan baik agama maupun suku bangsa. Hal ini bukti bahwa menghormati perbedaan telah diyakini nenek moyang bangsa Indonesia beratus-ratus tahun yang lalu.

Sementara itu, di belahan dunia lain, sekelompok manusia masih memperlakukan manusia lainnya sebagai budak yang dipekerjakan secara kasar tanpa upah layak atas dasar perbedaan rasial dan warna kulit semata. Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila sejarah kerukunan bangsa Indonesia yang sudah tumbuh beratus-ratus tahun lamanya ini harus dihancurkan oleh kebencian yang disebabkan oleh keserakahan dan perebutan kekuasaan di antara kelompok-kelompok tertentu.

Tentunya perpecahan seperti negara-negara itu tidak kita inginkan terjadi di negara yang kita cintai ini. Tanggung jawab ini terletak pada kita semua, terlebih pada bahu dan pundak para generasi muda yang hidup di zaman now khususnya bagi generasi milenial.  

Generasi milienial atau generasi Y (teori William Straus dan Neil Howe) yang saat ini berumur antara 18--36 tahun, merupakan generasi di usia produktif. Generasi yang akan memainkan peranan penting dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keunggulan generasi ini memiliki kreativitas tinggi, penuh percaya diri serta terkoneksi antara satu dengan lainnya. Namun, karena hidup di era yang serba otomatis, generasi ini cenderung menginginkan sesuatu yang serba instan dan sangat gampang dipengaruhi. Hal inilah yang menjadi titik kritis bagi masa depan negara dan bangsa kita. Era komunikasi terbukti memberi jaminan akses dan kecepatan memperoleh informasi.

Akan tetapi, acapkali menciptakan jarak serta membuat tidak komunikatif. Bahkan, berujung dengan rusaknya hubungan personal.Teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah perang konvensional menjadi perang modern dengan menggunakan teknologi, media massa, internet (cyber war).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline