Lihat ke Halaman Asli

Yadhan Zundullah

Universitas Airlangga

Budaya Feodal dan Ketimpangan di Indonesia: Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh

Diperbarui: 22 Desember 2024   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gus Miftah mengolok-ngolok atau menghina pedagang es teh dan air mineral kemasan. Foto/Youtube PCNU Kabupaten Magelang dan X 

 

Baru-baru ini, kasus Gus Miftah yang berkata kasar kepada seorang penjual es teh menjadi viral dan menuai berbagai reaksi dari masyarakat. Tindakan ini, meskipun dianggap oleh sebagian orang sebagai bercanda, sebenarnya mencerminkan sebuah fenomena yang lebih luas dan mendalam di Indonesia, yaitu budaya feodal dan ketimpangan sosial yang masih sangat kental.

Budaya feodal di Indonesia merupakan warisan dari masa lalu yang tampaknya belum benar-benar hilang. Dalam konteks ini, orang yang memiliki kekuasaan dan pangkat sering kali merasa superior dan berhak untuk memperlakukan orang lain, terutama mereka yang dianggap berada di bawahnya, dengan tidak hormat. Hal semacam ini tidak jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, di mana orang yang berpangkat tinggi merasa memiliki otoritas untuk bertindak semaunya kepada rakyat kecil tanpa mempertimbangkan etika dan kesopanan.

Kasus Gus Miftah ini mengingatkan kita pada contoh lain yang pernah viral, yaitu "Papa Pudel" yang menyuruh seorang anak SMA menggonggong. Kedua kasus ini memperlihatkan betapa orang-orang di sekitar pelaku, baik itu rekan kerja, teman, atau bahkan publik, cenderung tidak berani menegur dan hanya bisa tertawa atau cengengesan ketika melihat perilaku yang tidak pantas ini. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya feodal dan betapa lemahnya keberanian untuk melawan ketidakadilan sosial.

Meskipun Gus Miftah mengatakan bahwa ucapannya hanya bercanda, pertanyaan yang muncul adalah apakah beliau berani bercanda kasar seperti itu kepada orang berpangkat, seperti Mayor Teddy yang beliau kenal, atau kepada murid kesayangannya? Atau apakah beliau hanya berani bercanda kasar kepada penjual es teh karena merasa superior? Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam cara orang-orang berkuasa memperlakukan mereka yang dianggap lebih rendah status sosialnya.

Fenomena ini sudah sangat biasa terjadi di Indonesia, di mana jarak antara si kaya dan si miskin terlalu lebar. Ketimpangan sosial yang ada semakin memperparah budaya feodal yang masih berlangsung. Gaji rata-rata rakyat hanya sekitar 3 juta rupiah, sementara harga mobil pejabat bisa mencapai miliaran rupiah. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan yang semakin melebar, di mana mereka yang memiliki kekuasaan dan harta merasa bisa berbuat semaunya tanpa takut akan konsekuensi.

Selain itu, ketidakadilan sosial ini juga mengakibatkan rakyat kecil sering kali tidak memiliki keberanian untuk melawan atau menuntut hak mereka. Rasa takut dan ketidakberdayaan membuat mereka cenderung menerima perlakuan yang tidak adil dan hanya bisa pasrah. Padahal, setiap individu, tanpa memandang status sosial, memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat dan adil.

Kasus Gus Miftah dan penjual es teh ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Kita perlu menyadari bahwa budaya feodal dan ketimpangan sosial yang ada harus segera diatasi. Keberanian untuk menegur dan melawan ketidakadilan harus ditumbuhkan, baik dari pihak yang berkuasa maupun dari rakyat kecil. Hanya dengan cara ini kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline