Lihat ke Halaman Asli

Istriku Seorang Pelacur

Diperbarui: 15 Agustus 2016   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

illustrasi, www.hdwallpapersrocks.com

 Hening. Sejak semalam. Hanya desah nafas jam dinding yang memenuhi ruangan ini. Suara aduan sendok dengan piringpun begitu lirih. Aku mengunyah sarapanku dengan sangat perlahan, bukan karena segan tapi suasana ini telah melenyapkan napsu makanku, juga mas Ibra. Yang belum ku dengar suaranya sejak kemarin.

Ini sudah lewat jam sepuluh, entah...apakah masih pantas di namakan sarapan pagi! Tapi di sinilah kami. Menikmati hidangan yang sudah mendingin karena di tinggalkan oleh kepul hangat yang lelah menanti untuk di jamah.

Masih hening. Senyap. Beku.

Suasana santap pagi ini begitu hambar. Biasanya kami selalu memiliki topik kecil untuk dicengkramankan, diselimgi dengan canda dan tawa ringan. Begitu hangat. Tidak seperti ini, dan mungkin...hari-hari berikutnya akan lebih dingin. Bahkan mungkin, lenyap.

Sesekali kulirik mas Ibra yang tengah menikmati santapannya tanpa rasa. Ia masih diam. Tak mengatakan apapun. Aku tahu ia pun sesekali memperhatikanku. Tapi aku sungguh tak berani membuka suara lebih dulu. Apalagi menatap matanya yang tajam dan teduh. Yang selalu mampu menghangatkanku hanya dengan kerlingannya saja. Dan aku sungguh rindu mata itu.

"Sari!"

Tubuhku terlonjak mendengar suara merdunya. Sendok di tanganku hampir saja meloncat pergi. Aku tahu mas Ibra mengetahui kegugupanku.

"Kenapa kau terkejut?" tanyanya.

Tentu saja aku terkejut. Terakhir ku dengar suaranya adalah kemarin pagi saat ia pergi bekerja, dan tentunya setelah itu ia akan disibukan dengan semua pekerjaannya hingga malam menjelang. Lalu kami akan makan malam dengan hangat, aku akan menemaninya menyelesaikan tugasnya di ruang kerja, atau..., menunggunya saja di balik selimut sambil mengerjakan pekerjaanku sendiri. Setelah itu kami akan bercengkrama ringan dan menghabiskan sisa malam dengan kehangatan. Tapi semalam...,

Mas Ibra hanya diam ketika menginjak lantai rumah. Ia melenyapkan diri ke ruang kerja dan tak muncul lagi, ia tak menyentuh hidangan makan malam. Ia juga tak berbaring di sisiku, ia memilih untuk tidur di ruang kerjanya dan baru keluar beberapa saat lalu. Hari ini..., sepertinya ia tidak akan masuk kantor. Dan aku tahu kenapa,

Bibirku bergetar, ku coba memberanikan diri mengangkat wajahku dan membalas tatapannya. Mata kami bertemu. Mata itu...,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline