Sebelumnya, The Wedding #Part 30
Sore yang kering, seharian udara cukup panas, bahkan tengah hari rasanya seperti terbakar saja. Liana berdiri di depan meja keramik yang tak terlalu lebar tapi panjang dengan kompor gas dua sumbu, wastafel di paling sudut sebelahnya ada rak piring, sebelahnya lagi tertata dua termos dan beberapa bahan dapur. Ia sedang menyeduh kopi hitam, lalu menenteng cangkir kopi itu beserta tatakannya dan membawanya ke pelanggannya.
"Ini kopinya mas!"
Ia meletakan cangkir kopi itu di meja di depan salah saru pembelinya, ya, saat ini ia menjadi pemilik warung kopi yang tak terlalu besar itu atau boleh di katakan sederhana. Sudah lebih dari lima bulan ia membuka warung kopi dengan modal yang di usahakan Rizal. Awalnya ia mau ikut Rizal bekerja, tapi karena profesi Rizal adalah sopir angkot, itu tak memungkinkannya untuk ikut melakukannya maka Rizal mencari alternatif lain. Pada awalnya Rizal tak setuju juga ketika Liana ingin membuka warung kopi, ia malah meminta wanita itu untuk diam saja di rumah dan dirinya yang mencari nafkah. Tapi Liana memaksa karena ia tak bisa hanya berdiam diri saja.
Sekarang ia sedikit merubah tampilannya, ia memakai poni hingga separuh wajah untuk menutupi bekas lukanya yang secara kasat mata bisa di lihat dari jarak dekat.
Selama itu pula ia tak pernah bersua dengan Nicky, tak tahu bagaimana kabarnya, meski di dalam hati ia begitu tersiksa karena merindukan pria itu. Terkadang ia ingin sekali pergi ke rumah keluarga Harris untuk sekedar melihat dari jauh wajah suaminya, entah apakah mereka masih bisa di sebut suami istri setelah berpisah cukup lama tanpa apapun. Tapi ia takut, takut tak mampu mengendalikan diri saat melihatnya.
Ia sedang mencuci gelas-gelas kotor ketika ada satu pelanggan lagi yang datang dan meminta secangkir kopi yang sudah menjadi langganannya sejak tiga bulan terakhir. Mendengar suaranya Liana sudah tahu siapa orangnya, tapi bagaimanapun dia tetap pembeli, dan selama ini pria itu bersikap cukup sopan dan baik terhadapnya.
Liana pun berhenti mencuci lalu cuci tangan dan mengeringkannya, ia segera menyeduh kopi pelanggannya, lalu menyodorkannya, "perutmu tidak ada masalah dengan kopiku?"
"Aku mulai terbiasa!"
Ia mulai memungut dan menyesapnya beberapa ml, menaruh cangkirnya kembali ke meja dan menatap wanita di depannya yang masih menatapnya.
"Kau tidak takut kepergok temanmu sedang minum kopi di tempat murahan seperti ini?"