Lihat ke Halaman Asli

Edelweiss

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar mentari menyibak tirai di balik jendela, menerobos celah di antara bilik-bilik kayu. Dimana aku berteduh sekarang. Dengan malas ku buka mataku perlahan, cahaya jingga memasuki kornea mataku. Terasa sedikit hangat, aku menguap dan menggeliat seperti ulat yang baru saja menetas. Ku lirik jam beker di meja kecil di samping ranjang tempatku berbaring. Jarum pendek menunjukan angka 7, dengan malas pula ku sibak selimut yang menyembunyikan tubuhku kembali setelah solat subuh tadi. Aku berjalan ke arah jendela, menggeser tiranya lalu membuka daun jendela. Udara pagi yang masih segar membelai wajahku yang masih sayu. Rasanya aku enggan sekali meloncat dari kasur karena udaranya masih cukup dingin.


Dari balik jendela bisa ku lihat orang-orang yang sudah beraktifitas di luar sana, aku tersenyum menatapnya. Lalu aku kembali ke kasur untuk membereskannya, setelah itu ku sambar handuk dan tempat peralatan mandiku. Sesampainya di dapur ku lihat Bude sedang mencuci cangkir bekas kopi Pakde. Di jam segini pasti Pakde baru saja berangkat ke balai desa menunaikan tugasnya.


"Sugeng enjang, Bude!" sapaku.

"Eh...., anak perawane Bude. Baru bangun!" sindirnya. Aku hanya tersenyum nyengir, "atis bude!" sahutku.

"Tuh air panas buat mandi,"

"Loh....sudah di buatin to sama Bude, ah....serasa tuan putri saja aku ini!" gurauku. "la...lain kali ya buat sendiri. Anak perawan itu harus bangun pagi, biar cedak jodone!"


Ngomongin jodoh aku jadi terdiam, tapi aku tahu Bude tak berniat menyingungku. Jadi aku memasang senyum saja seraya memgangkat panci berisi air hangat ke dalam kamar mandi, ku tuang ke dalam bak besar lalu ku campur dengan air dingin. Kalau mandi hanya dengan air dingin tubuhku bisa membeku.


Selesai mandi langsung ku renggut kameraku dan ku gantungkan di leher seperti biasa, aku segera berhambur keluar. Menuang teh hangat yang sudah tersedia di meja, meneguknya sedikit sebagai penghangat badan. Ada pisang goreng dan ubi kayu rebus, ku pungut saja ubi kayu rebusnya yang masih hangat itu, menjejalkannya ke dalam mulutku. Empuk sekali, manis lagi....masih fress....beda sama di Jakarta rasanya. Ku kunyah seraya menghampiri Bude di halaman depan yang sedang menjemur pakaian.


"Bude, aku pergi dulu ya!" pamitku menghampirinya, "meh ning endi to?" tanyanya, "ehmmm..., biasa!" kataku memamerkan kameraku. Bude sudah tahu hobiku yang suka menjepret apa saja yang menurutku menarik hati.


"Ndak sarapan sik to nduk?"

"Nih!" sahutku memperlihatkan ubi kayu yang tinggal segigit itu lalu melemparnya ke dalam mulutku, lalu ku cium punggung tangannya seperti biasa, "assalamu alaikum, Bude!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline