Lihat ke Halaman Asli

Sayap-sayap Patah sang Bidadari ( first novel ) ~ Inheritance # Prologue

Diperbarui: 6 Juli 2015   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Keramaian pasar begitu riuh dengan para pembeli dan pedagang, ada suara tangis anak-anak, ibu-ibu yang sedang menawar sayuran dan lain-lain. Beberapa penjual berteriak menjajakan dagangan mereka. Di sela kesibukan itu, ada seorang gadis yang sedang berlari kencang menjauhi pengejarnya. Ia memakai topi hitam, jeans warna biru, kemeja kotak panjang. Ia berlari sambil melompati barang dagangan, menyingkirkan orang yang menghalanginya tapi ia tak berusaha menyakitinya.
" Woi...woi....berhenti!" seru beberapa orang yang mengejarnya.

Gadis itu tetap saja berlari kencang, dan semakin kencang. Hingga ia menubruk seseorang, tapi malah dirinya yang terpental, bukan orang yang di tubruknya. Buset... Nih orang kuat banget, di tubruk malah yang nubruk yang jatuh. Pikirnya.
Liana, nama gadis itu. Ia masih terjerembat terduduk di tanah yang berdebu, sementara orang yang di tubruknya masih berdiri tegap dan menatapnya.

" Kau tidak punya mata? Main tubruk seenaknya!" makinya. Liana hanya diam memandangnya, tubuhnya yang terbalut jas mewah warna putih dengan wajah yangtampan membuatnya terlihat seperti seorang pangeran. Lalu ia dengar suara beberapa orang yang mengejarnya. Ia pun menoleh, terlihat mereka semakin dekat.
" Gawat....!" serunya, ia berdiri dan langsung kembali berlari melewati pria yang ia tubruk itu. Sekali lagi ia sedikit menyenggol pria itu.
" Hei!" seru pria itu. Liana tak peduli, ia terus berlari. Dan para pengejarnya juga melewati pria itu.

Pria itu hanya melihat selintas lalu melanjutkan langkahnya mendekati lapak seorang penjual jajanan pasar. Apa yang dia lakukan? Ia membeli beberapa kue. Emangnya dia doyan? Sebenarnya itu bukan untuknya, melainkan untuk kakeknya. Lapak itu adalah langganan kakeknya, katanya kuenya mengingatkannya pada istrinya, meski tetap saja lebih enak olahan istrinya. Abis di tempat lain nggak ada yang enak sih.

Setelah mendapatkan apa yang di maunya, pria itu kembali ke mobilnya dan tancap gas, kakeknya masih duduk di mobil. Kini mereka langsung menuju ke kantor. Sementara Liana masih di kejar-kejar beberapa orang. Ia terus berlari mencari tempat untuk bisa lolos. Sampai di jalan buntu dengan tembok yang tinggi dia memanjat dan melompat ke ruang sebelah. Akibatnya para pengejarnya kehilangan jejak.

"Aduh...kemana tuh copet, cepet amat larinya!" kesal salah seorang.

Liana berjalan santai sambil membuka isi dompet itu, ia mengambil isinya, melihat nama di kartu identitasnya. Ia tak berniat membuang semua dompet yang ia curi. Suatu saat kalau dirinya mampu ia akan mengembalikannya. Kapa? Entahlah, siapa tahu saja nanti bisa. Liana adalah gadis jalanan yang mencari nafkah dengan mengambil dompet orang. Sejak kecil ia hidup di jalanan. Ia juga tak tahu kenapa ia ada di jalan. Yang jelas waktu itu ketika ia terbangun, entah dari tidur atau pingsan ia sudah ada di suatu tempat yang tak ia kenal. Parahnya lagi ia tak ingat siapa dirinya, namanya dan keluarganya. Apa yang terjadi sampai ia terdampar di sana.

Saat itu ia baru 9 tahun, akhirnya ia kenal beberapa anak yang senasib dan ikut mereka mengamen. Saat ia mulai tumbuh ia semakin kenal banyak anak jalanan, beberapa anak lelaki mengajarinya mencopet dan men-hot wire mobil. Meski secara teknis tak pernah praktek langsung mencuri mobil. Ketika ia mulai dewasa, ia tinggal di perkampungan kumuh, bertetangga dengan janda beranak lima, semua anaknya masih kecil. Yang paling besar saja baru 8 tahun. Suaminya tertabrak mobil dan meninggal ketika memulung. Liana sangat akrab dengan janda itu, bahkan saat janda itu sakit Liana merawatnya beserta 5 anaknya hingga janda itu meninggal. Parahnya Liana malah di titipi kelima anak itu, 3 lelaki dan 2 perempuan. Tak ada pilihan, karena dirinya memang juga menyayangi anak-anak itu seperi adiknya sendiri, maka ia pun menyanggupi. Ia tahu ia butuh biaya lebih dan sekarang ia juga punya tanggung jawab besar terhadap anak-anak itu. Ia pun berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa di kerjakan. Biasanya jadi kuli pasar, tukang angkut barang. Tapi tidak bertahan lama, selalu saja kena masalah dan akhirnya di pecat. Ia juga melamar ke beberapa warteg. Seperti mencuci piring kotor, memotong sayur, melayani pembeli. Lagi-lagi, tak bertahan lama. Beberapa anak pengamen yang tak suka padanya bilang ke pemilik warung saat mengamen bahwa anak perempuan yang bekerja di warungnya adalah seorang copet. Tentu saja, si empunya warung langsung mengusirnya. Nggak di bayar lagi. Ia menyadari kehidupan jalanan itu sangat keras dan kejam. Maka ia pun tak mau kelima anak-anak itu menjadi seperti dirinya, maka ia pun memasukkan mereka ke sekolah. Yang paling kecil masih 3 tahun, waktu itu. Sekarang sudah 5 tahun. Liana merawat mereka memang baru 2 tahun. Tapi mereka sudah seperti adiknya sendiri. 

Pasa akhirnya Liana tetap mencopet. Itu jalan mudah untuk bisa membayar biaya sekolah. Meski ia juga masih suka ngamen terkadang. Ia sendiri melarang adik-adiknya untuk ikut mengamen, mereka di suruh fokus belajar saja. Terkadang ia benci kehidupannya yang seperti itu. Tapi ia sudah tidak mempertanyakan lagi siapa dirinya dan darimana asalnya. Baginya itu sudah tidak penting. Bahkan ia sudah tak mau tahu lagi masalalunya sebelum ia terjebak di jalanan. Kenapa semua orang memanggilnya Liana, nama itu terukir di liontin kalung yang selalu ia kenakan hingga sekarang. Itu memang kalung perak, dan itu satu-satunya yang tersisa dari masa kecilnya yang sampai kini tak ia ingat.

*********

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline