Fisi Fantasi, Dimensi Ketiga ; The Fairy And I
oleh ; Y. Airy no ; 89
"Jadi apa sebenarnya dirimu?"
Pertanyaan itu akhirnya aku lontarkan juga pada Ares. Setelah sekian lama ku pendam sendiri sejak aku memergokinya 3 minggu lalu. Aku melihatnya di bawah sinar bulan, tubuhnya bercahaya. Indah sekali, seperti berlian. Aku selalu berfikir, itukah sebabnya dia tak mau keluar setiap bulan bersinar terang di kala malam hari? Pertanyaan itu terus memenuhi batok kepalaku.
Dua bulan lalu, dia tiba-tiba muncul di taman belakang rumah kami hanya dengan berselimutkan dedaunan. Dia sangat tampan dan berwajah lembut. Dia bilang dia tersesat dan tak ingat apa-apa, itu sebabnya keluargaku mengijinkannya tinggalbdi rumah kami. Dia membantu kami berkebun, rumah kami cukup luas dengan halaman yang sangat luas pula. Halaman belakang rumah adalah tanaman bunga mawar. Kami penghasil bunga mawar indah yang di setorkan ke berbagai tempat.
"Apa maksud pertanyaanmu?" Ares balik bertanya. Kami duduk di sebuah coffeshop, jika berbicara di rumah, bisa gawat.
"Usiaku sudah 18 tahun, aku bukan anak kecil lagi. Jadi jangan membodohiku!" kataku sedikit marah.
"Miranda!" katanya lembut, "aku bahkan belum ingat siapa aku!"
"Bohong, aku melihatmu. Di bawas sinar bulan, kau bersinar seperti mutiara. Apa kau sebenarnya?"
Ares diam beberapa saat.
"Kau sungguh ingin tahu siapa aku?"
Aku mengangguk.
"Menjelang tengah malam nanti, keluarlah ke kebun belakang. Akan aku tunjukan padamu!"
"Sungguh?"
"Itu kalau kau belum tertidur!"
"Aku tidak akan tidur!" jawabku tegas. Dia tersenyum, manis sekali.
Ketika matahari terbenam, aku sudah tak sabar menanti tengah malam. Kulihat jarum jam dinding berputar, rasanya lambat sekali. Dari pada ketiduran maka ku putuskan untuk membaca buku saja. Ku dengar jendela kamarku di ketuk seseorang, aku membuka kordennya, itu Ares. Ia memberi isyarat padaku agar aku keluar sekarang.
Aku segera mengambil jaket dan memakainya, lalu aku melompat dari jendela. Ares membantuku. Kami berlari bergandengan tangan ke arah belakang. Kami melewati taman bunga, menerobos batas pagar dan menembus dedauan di pinggir hutan. Cahaya bulan menerobos kami di antara dedauan. Kami berdiri di sana, Ares membuka bajunya. Membiarkan dirinya bertelanjang dada.
Sinar bulan menyentuh tubuhnya, membuatnya kembali bercahaya. Ku lihat tubuhnya berputar melayang-layang, bulu-bulu putih keluar dari punggungnya, membentuk sayap yang indah.
Dia.....
Ares tersenyum padaku, ia menjulurkan tangannya yang bercahaya padaku. Aku menyambutnya, kami kembali bergandengan. Sebuah pantulan cahaya di sebatang pohon bersinar begitu terang, ku rasakan tubuhku bergerak menembusnya. Dalam sekejap aku telah berada di sebuab tempat yang begitu indah. Setiap tangkai pohon di kelilingi cahaya,hamparan hijau rerumputan membentang luas. Terlihat banyak muda-mudi bersayap berseliweran di antara kami. Kakiku tidak menginjak tanah karena Ares terus menggandengku. Dia mengajakku berkeliling. Tempat itu sungguh indah. Bunga-bunga bermekaran, lebih harum dari tamanku.
"Ares!" desisku.
"Inilah duniaku, kau suka?"
"Ini indah sekali. Apa kalian sebenarnya?"
"Kami bangsa Elf!"
"Elf, maksudmu sejenis peri?"
Ares mengangguk.