Lihat ke Halaman Asli

Sayap - sayap Patah Sang Bidadari ~ Inheritance #Part 17

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Nicky dan Andre sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, untuk memastikan siapa yang baru saja mengalami kecelakaan mobil. Apakah benar itu Daren atau bukan. Semantara Burhan juga sedang menuju ke sana untuk membereskan apa yang belum selesai, yaitu melenyapkan Daren Harlys. Siapakah dia antara mereka yang akan datang lebih dulu ke rumah sakit?


Nicky sedang menunggu lampu merah berubah warna menjadi hijau, ia menggerakkan jemarinya yang maish tertumpu di setir mobil. Menjentikannya dengan gerakan kecil yang berulang-ulang. Ada rasa cemas yang menyelimuti pikirannya.

"Jalanan ini selalu ramai, menyebalkan!" maki Andre, "kenapa lampu merahnya lama sekali, apa mereka tidak tahu kita sedang buru-buru!" tambahnya. Lalu ia melirik bosnya. Nicky bukan orang yang banyak bicara, sekesal apapun ia tidak akan crocos mengumpat seperti salah satu karyawannya yang kini duduk di sampingnya itu. Tapi dari raut wajahnya sudah jelas terlihat kalau dia lebih kesal dan lebih cemas ketimbang Andre.

"Mobil ini sangat lambat!" kesal Nicky.
Andre memasang senyum kecil di bibirnya,
"Ya, kau benar bos. Aku lebih suka mobilmu yang dulu!"sahutnya.
"Jujur, aku tidak suka kau memanggilku bos jika kita sedang di luar kantor!"
"Maaf, ku rasa itu malah lebih akrab ketimbang ku panggil kau, Pak!"

Akhirnya lampu hijau menyala juga, bye-bye lampu merah semoga kau tak hadir lagi di depan. Jalanan tetap saja ramai dan membuat mereka berkendara lambat.

Burhan membawa motornya dengan kencang menerobos celah sempit mobil yang berdesakan, ia memilih membawa motor karena itu akan lebih cepat sampai ketimbang mobil yang sudah pasti akan terjebak macet. Ia harus sampai lebih dulu sebelum ada yang menemukan Daren Harlys masih bernapas. Bajingan kecil itu mengenali wajahnya dan bosnya. Meski dia tidak tahu nama mereka tapi tetap saja itu berbahaya. Dan bisa menjadi penghalang besar nantinya, maka dari itu dia tidak boleh di biarkan hidup.

Liana masih diam di ruangan William, mengamati pria tua itu yang sedang membaca buku yang tadi dia ambilkan dari ruangan Nicky. Itu buku tentang Management bisnis. William menoleh padanya,
"Ku rasa kau harus mempelajari beberapa hal!" serunya.
"Mempelajari apa kek?"
"Tentang bisnis."
"Ha, e...., ku rasa..... Itu tidak perlu. Aku tidak tertarik untuk masuk bisnis, lagipula aku saja tidak ingat sekolahku sampai mana. Meski, aku sering membaca buku pelajaran yang ku dapat dari teman!" tolaknya.
"Liana."
"Kek, aku tidak menginginkan semua itu. Bisa di terima di rumah ini saja sudah membuatku cukup senang!"
Pria tua itu memandangnya lekat.
"Kakek sudah tua, dan kita tidak tahu sampai dimana usia kita. Kakek ingin saat kakek mati nanti kau masih bisa mendapatkan kehidupan yang layak!"
"Kek, jangan bicara seperti itu. Usia kita itu ada di tangan Tuhan!"
"Kau tahu itu, Tuhan bisa melakukan apa saja yang sudah ia tuliskan. Siapa tahu setelah kita bicara kakek akan langsung mati!"
"Kakek!" seru Liana.

William tersenyum melihat kecemasan gadis di depannya. Ia jadi semakin menyayangi gadis itu, dan ia yakin bahwa dirinya tidak salah pilih.

"Kita bicarakan hal lain saja ya kek!" pintanya.
"Hal lain, misalnya?" sahut William.
"E....., boleh aku bertanya soal Rey?"
"Rey?"

Liana mengangguk.
"Ada apa dengan Rey?"
"Tempo hari, aku sempat mendengar Rey menyebut nama Helen ketika mabuk. Apakah Helen kekasihnya?"
"Kenapa, kau cemburu?"
"Kakek aku serius!"
"Kau sungguh ingin tahu?"

Liana mgangguk lagi, pelan. Matanya masih menatap pria tua di depannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline