Lihat ke Halaman Asli

Cintaku Terbagi Dua

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tahu kau cemburu, aku tahu ini gila. Tapi maaf, jika aku masih tak bisa melepaskannya. Bahkan mungkin tidak akan pernah melepaskannya meski kini kita telah bersanding. Mengarungi bahtera dengan terpaan badai yang terus saja mengguncang. Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintainya. Masih sangat mencintainya.

Maafkan aku jika saat kau jauh ku habiskan waktu bersamanya, bahkan ketika kau dekat terkadang ku curi waktu untuk bersamanya. Saat engkau terlelap aku menyelinap bagai pencuri hanya untuk bisa menemani ketidakkantukanku bersamanya, mengarungi malam perenungan hingga ke puncak cinta kami. Paginya aku akan tersenyum lebar di belakangmu, terkadang di depanmu juga.

Aku tak berniat mengakhirinya, mencintaimu memberikan kebahagiaan dalam seluruh hidupku. Begitupun saat aku mencintainya, ada sebuah kepuasan tersendiri yang tercipta di hati ini. Sungguh, bukannya aku jahanam. Tapi aku sungguh tak mampu melepaskannya, dan tak pernah berniat melepaskannya, sekali lagi mohon maafkan aku suamiku. Tapi aku tak ingin melukaimu, meski aku tahu terkadang engkau cemburu ketika aku tak meluangkan banyak waktuku sepenuhnya untukmu. Apa daya hati ini, aku hanya manusia biasa. Jika engkau ingin tahu, mungkin cintaku tak hanya terbagi dua. Mungkin tiga, mungkin enam atau lebih.

Ada cinta yang terukir di hati ini untuk sang Khalik, ada cinta yang mendalam untuk sosok orangtuaku, ada cinta untuk buah hati kita. Semua itu engkau tahu, dan engkau tidak keberatan atapun cemburu. Karena itupun berlaku padamu jua.

Tapi ada cinta lain yang sempat membuatmu cemburu buta padaku, sempat membuatmu marah. Di kala aku tak bisa memilih antara engkau dan dia, harus bagaimana? Aku memang tak bisa memilih, meski engkau paksapun aku tak akan sanggup memilih di antara kalian. Ini terlalu sulit untukku, maafkan aku!

Aku lebih dulu mengenalnya sebelum mengenalmu, meski aku tahu itu tak bisa di jadikan alasan. Karena engkau adalah imamku tapi dia adalah teman yang menemani saat aku merasa sepi, saat aku marah, saat aku juga merasa senang. Memang, seharusnya engkaulah temanku saat aku merasakan semua itu. Tapi aku selalu mencuri celah agar bisa bersamanya walau hanya sedetik, hingga suatu malam saat aku menyelinap dari selimutmu untuk bisa menghabiskan sisa malam bersamanya, engkau memergokiku.

Kau menghampiriku dan berseru, "ini sudah larut malam, kenapa kau masih membuka komputer? Sepertinya lebih banyak waktu yang kau luangkan untuk menulis daripada memelukku?" kesalmu. Aku menoleh ke arahmu dan tersenyum, "maaf, mumpung ada ide. Kalau di tunda nanti buyar, ngejar deadline nih!" jawabku.

"Repot juga punya istri yang gila menulis, bisa-bisa nanti aku tersingkir!" sindirmu dengan nada cemburu yang tentu sudah bisa aku baca. Aku pun bangkit dan menghampirimu, mengalungkan lenganku ke lehermu.

"Jangan khawatir, cintaku padamu tidak akan pernah berkurang secuilpun sayang. Malah semakin besar ketika kau mengijinkanku untuk tetap mencintai menulis, maaf jika aku harus membagi cinta di hidupku!"

"Huh.....!" sahutmu,

"Yang penting cintaku tak terbagi untuk pria lain!" bisikku di telingamu, mengirimkan api yang kembali terpercik di antara kita. Aku tahu ketika nafasmu mulai menghangat, kau pasti akan segera menyeretku kembali ke pelukanmu. Dan aku harus menunda ideku kali ini karena aku tak mau membuatmu lebih cemburu. Membiarkan komputerku tetap terbuka untuk menanti kedatanganku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline