Lihat ke Halaman Asli

Analogi Kasus Lumpur Lapindo dan Ledakan Pom Bensin

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum memulai, ada baiknya saya tekankan, bahwa saya tidak mengikuti kasus lumpur tersebut secara mendetail, informasi yang saya dapatkan hanyalah sebatas apa yang disajikan oleh media. Dan tidak menutup kemungkinan apa yang saya tulis di bawah ini salah. Oh, ya, satu hal lagi, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak manapun. Tulisan ini hanyalah sekedar uneg-uneg yang tertumpah dari pikiran saya yang kadang iseng ini Dalam suatu kegiatan usaha, terutama korporasi, ada 4 sikap yang dapat diambil suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban sosialnya terhadap masyarakat, yakni: sikap obstruktif, sikap defensif, sikap akomodatif, dan sikap proaktif. Secara singkat, keempat sikap tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Sikap Obstruktif: Pendekatan terhadap tanggung jawab sosial yang melibatkan tindakan seminimal mungkin dan (mungkin) melibatkan usaha-usaha menolak atau menutupi pelanggaran yang dilakukan.
  • Sikap Defensif: Pendekatan tanggung jawab sosial yang ditandai dengan perusahaan hanya memenuhi persyaratan hukum secara minimum atas komitmennya terhadap kelompok dan individu dalam lingkungan sosialnya.
  • Sikap Akomodatif: Pendekatan tanggung jawab sosial yang diterapkan suatu perusahaan dengan melakukannya apabila diminta, melebihi persyaratan hukum minimum dalam komitmennya terhadap kelompok dan individu dalam lingkungan sosialnya.
  • Sikap Proaktif: Pendekatan tanggung jawab sosial yang diterapkan suatu perusahaan, yaitu secara aktif mencari peluang untuk memberikan sumbangan demi kesejahteraan kelompok dan individu dalam lingkungan sosialnya.

Kemarin (25/6) sewaktu kuliah Manajemen Bisnis yang membahas mengenai Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial, kepada dosen, saya sempat melontarkan pertanyaan (dan contoh kasus) etika dan tanggung jawab sosial yang berkaitan dengan kasus Lumpur Lapindo. Well, dalam contoh ini, saya memandang bahwa Lapindo ternyata menerapkan keempat sikap di atas dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya, terutama dalam kasus semburan lumpur yang terjadi. Pada awalnya, PT Lapindo Brantas tampak begitu proaktif dalam menanggulangi kasus semburan lumpur yang terjadi, dengan cara mendata dan memberikan janji(?) ganti rugi kepada para korban. Namun seiring perjalanan waktu, wilayah yang terkena dampak semburan lumpur itu semakin meluas, dan PT Lapindo Brantas pun menurut pendapat saya, mulai mengubah haluan sikapnya menjadi sekedar akomodatif. Beberapa lama kemudian, sikap perusahaan tersebut berubah pula menjadi sikap defensif dan kemudian obstruktif dengan mengatakan bahwa kasus lumpur tersebut adalah bencana alam dan dengan demikian harus ditanggulangi bersama-sama (yang tampaknya diamini oleh pemerintah). Kabar terakhir yang saya dengar, anggaran penanggulangan kasus semburan lumpur tersebut akan dilimpahkan ke dalam R-APBN 2011. Dosen saya tampaknya sepaham dengan pendapat yang menyatakan bahwa kasus lumpur tersebut adalah bencana alam yang tidak dapat dihindarkan lagi. Menurut beliau, pada mulanya, semburan tersebut terjadi karena kesalahan manusia, secara lebih spesifik: kesalahan ketika proses pengeboran. Err… sebenarnya saya kurang sependapat. Namun demi menghindari perdebatan, saya mengiyakan saja pendapat ibu dosen yang terhormat. Dalam benak saya, tersusun sebuah analogi yang menolak pendapat yang menyatakan bahwa kasus semburan lumpur itu adalah bencana alam, yakni dengan mengandaikan ledakan sebuah pom bensin. Diumpamakan; Porong = pom bensin, PT Lapindo Brantas = Mr. X, dan warga sekitar pom bensin itu diumpamakan sebagai korban lumpur. Katakanlah, Mr. X, seorang perokok berat, mampir ke pom bensin guna ‘mengasapi knalpot kendaraannya’. Di pom bensin, ternyata harus antri. Karena merasa mulutnya asam, keinginan merokok pun timbul. Mr. X sebenarnya telah melihat papan tanda larangan merokok di pom bensin tersebut, namun ia tidak mengindahkannya. Karena mendapat teguran dari petugas pom bensin, Mr. X pun menghentikan kegiatan merokoknya dan melemparkan rokok yang masih menyala ke dalam kotak sampah. Setelah proses pengisian bensin kendaraannya selesai Mr. X pun berlalu dari pom bensin tersebut. Tidak lama kemudian insiden yang tidak diinginkan terjadi, api rokok yang menjalari kotak sampah tersebut menyambar selang pengisi bensin sehingga menyebabkan pom bensin itu meledak, dan turut menghanguskan beberapa rumah di sekitarnya. Pihak berwajib pun melakukan penyidikan, dan setelah mendapatkan titik terang, disimpulkanlah tersangka dalam insiden tersebut adalah Mr. X. Beberapa sahabat dan kenalan Mr. X menyangkal tuduhan tersebut dengan menyatakan bahwa Mr. X tidak bersalah dan insiden itu terjadi karena kelalaian (petugas) pom bensin (= bencana alam). Dan nampaknya pihak berwajib pun sependapat… Akhirul kata, menurut saya, sungguh aneh bila pom bensin (alam) yang disalahkan, sedangkan sang tersangka yang berdiri bagai gajah di pelupuk mata hanya dianggap seumpama semut di seberang lautan. Bagaimana menurut pendapat anda? -- Diterbitkan juga di blog saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline