Tulisan ini pernah diterbitkan di identitas, koran kampus Universitas Hasanuddin.
Saya bukan menggurui, ini sekadar pemikiran saya yang ingin saya tuangkan.
Suatu hari seorang teman, anggaplah Adi namanya,meminta Rudi membeli minum di kantin. Kala itu cuaca memang sangat panas. Saya, Adi, dan beberapa teman sedang menanti kuliah sambil berselancar ria di dunia maya. Rudi yang paling muda diantara tentu tahu dirilah segera pergi membeli minum di kantin. Tak berapa lama si Rudi kembali membawa dua botol minuman kaleng.
“Ah, salahki Sundala’,” ucap Adi dengan wajah datar. Teman-teman yang lain tertawa mendengar Adi mengumpat Rudi. Rudi yang diumpat pun ikut tertawa bahkan menjawab,”Apa paeng, Suntili1 .”
Tawa teman-teman yang lain makin jadi mendengar jawaban Rudi. Alangkah lucunya negeri ini. Inilah kata yang teringat ketika para teman dekatku ini kini memakai kata sundala dalam kesehariannya. Bagaimana tidak, saya ingat kata ini hampir membuat mulutku merasakan pedasnya ulekan cabai. Kata ini asing bagiku hingga menginjak usia sekolah. Bapak dari temanku yang pertama kudengar mengucapkannya untuk mengumpat anaknya yang ketahuan merokok. Ketika menanyakan arti kata ini pada Ibu, mulutku hampir disumbat dengan cabai. Dan saat itu aku berjanji tak lagi menyebut atau menanyakan ini lagi. Aku akhirnya tahu erti kata ini saat menanyakanya kembali pada teman SMP-ku yang mengucapkannya untuk mengumpat pencuri bukunya. Saat tahu artinya, aku jadi mengerti mengapa ibuku tega menyumpalku dengan ulekan cabai ketika menyebutnya.
Sundala’ berasal dari bahasa Indonesia “Sundal” yang berarti perempuan jalang; lacur; atau pelacur kemudian diadaptasi ke bahasa Makassar menjadi sundala, seperti kata sandala dari kata “sandal” atau “sendal”. Sekali diucapkan akan membuat seseorang merasa terhina hingga harga dirinya jatuh.
Dulu, kata ini dianggap tabu untuk diucapkan. Bahkan para orang tua akan memukuli anaknya ketika ia mengucapkannya. Dimana jika sang anak mengucapkannya, si anak akan dipandang tak beretika. Jika begitu si orang tua akan malu jika tak mampu mengajarkan anaknya etika (ampe’-ampe’ madeceng2). Itu karena orang tua mengajarkan siri3’. Siri jika tak memiliki ampe-ampe madeceng. Siri jika tak bertutur halus.
Awalnya, kata ini banyak digunakan oleh kaum tak terdidik seperti banci dan pemulung. Namun, seiring berjalannya waktu kata ini kemudian banyak digunakan oleh anak-anak muda dalam pergaulannya. Bahkan dianggap sebagai kata candaan yang jika diucapkan yang lain bisa bebas tertawa. Makanya, kebiasaan ini kian merebak bak jamur.
Sumpah serapah bukan lagi hal tabu. Jengkel sedikit, sumpah serapah lalu keluar tak terkendali. Segala macam makian keluar meluapkan emosi.
Maka keluarlah segala makian dan sumpah serapah dari mulut si pembicara. Entahlah, mungkin
Ataukah kata ini akan bernasib sama dengan teman inggrisnya bitch. Dulu kata ini dipakai untuk menghina sosok perempuan. bitch yang berasal dari kata bicce4 yang berarti perempuan pengumbar sensualitas. Kini, kata ini dipakai oleh istilah feminisme untuk mengambarkan sosok perempuan yang anti stereotype, cerdik, dan pandai menyembunyikan sesuatu. Bahkan beberapa artis bangga menyebut diri mereka bitch, seperti Elton John, Maddona, dan Sandra Bullock. Bahkan ada band yang menamai dirinya dengan nama tersebut. Yang pasti saya tak ingin hal ini bukan menjadi tanda-tanda rusaknya budaya kita sebagai bangsa Indonesia yang berbudi luhur.
1 Singkatan dari sundala tiga kali, entah dari mana asalnya. Yang pasti kata ini mengiring kepopuleran kata sundala untuk membalas kata tersebut dengan menegaskannya sebanyak tiga kali.
2 Perbuatan-perbuatan baik, seperti tutur halus, sopan, dll.
3 Malu bisa juga diartikan Harga Diri. Orang bugis dikenal sebagai suku yang kental dengan pencitraan dirinya. Hal ini akan mempengaruhi derajat sosialnya di mata masyarakat. Semakin baik citramu semakin tinggi derajat sosialmu.
4 Perkembangan kata bitch yang kemudian mengarah ke arah perilaku seksual perempuan, pertama kali digunakan sekitar abad 14-15 yg lalu. Kata bitch digunakan sebagai kata slang untuk perilaku seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H