Lihat ke Halaman Asli

Dampak Lockdown

Diperbarui: 19 Maret 2020   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melihat kasus pasien COVID 19 yang meningkat tiap harinya hingga hari ini tercatat lebih dari 300 orang di seluruh Indonesia serta persebaran Covid-19 yang semakin meluas ke lebih dari 150 negara di dunia (https://www.covid19.go.id/) menyebabkan beberapa negara melakukan lockdown. Banyak pihak menyarankan agar pemerintah segera melakukan Lockdown. Namun tahukah kita apa arti lockdown dan dampaknya, serta bagaimanakah isi undang-undang tentang hal ini? 

Dikutip dari Cambridge, lockdown diartikan sebagai sebuah situasi di mana orang tidak diperbolehkan masuk atau meninggalkan sebuah bangunan atau kawasan bebas karena kondisi darurat. Bisa dibayangkan bukan? bahkan kita tidak diperbolehkan keluar bangunan, bukan hanya pembatasan ke Luar Negeri. Sanggupkah? Untuk sebagian orang memang dapat melakukan aktivitas di rumah, namun banyak orang yang tidak seberuntung itu untuk mendapatkan penghasilan jika hanya berdiam diri di rumah.

Dapat dipahami jika terjadi kepanikan dan pemerintah serta pihak terkait sudah berupaya dengan maksimal untuk mengurangi penyebaran virus ini dan bahkan menghentikannya. Yang menjadi masalah adalah banyak orang yang lemah dalam literasi dan men-share berita yang mereka dapatkan dari sosial media tanpa mengecek kebenarannya sehingga tingkat kepanikan tinggi. 

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) dikutip dari detik.com,  Muhammad Edhie Purnawan menyampaikan pendapatnya terkait persoalan tersebut. Menurut Edhie, beberapa hal perlu diperhatikan jika Indonesia memutuskan lockdown atau mengunci/isolasi wilayah.  Bahwa sebelum melakukan lockdown pastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Jadi misalnya, lockdown adalah dua minggu, maka pastikan kebutuhan dasar masyarakat selama dua minggu itu tersedia dan cukup dari hari ke hari tanpa ada kelangkaan di pasar, toko tradisional, toko modern, dan supermarket.

Pemerintah harus segera bekerja sama dengan pengusaha secara maksimal. Namun, lanjutnya, lockdown sendiri memang berimplikasi pada terhentinya kegiatan ekonomi. Dampaknya, negara harus bersiap dari sisi ekonomi, seperti memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan pokok di wilayah yang di-lockdown. Pasal 53, 54, dan 55 UU  mengamanatkan jika dilakukan karantina wilayah (lockdown), maka persyaratannya harus terjadi penyebaran penyakit di antara masyarakat sehingga harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah tersebut. 

Jika kurang siap untuk melakukan lockdown dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena merasa ketakutan bisa saja kerusuhan terjadi karena kelangkaan barang kebutuhan dasar. Dan perlu diingat sektor-sektor yang mengandalkan teknologi tradisional akan terkena dampak paling buruk. Jika alat transportasi publik berhenti, berarti sebagian pasar juga akan berhenti, supply makanan lalu diambil alih oleh pemerintah beserta swasta besar yang ditunjuk untuk menggantikan. Kalau Indonesia sudah siap dengan hal ini, maka bisa saja lockdown dilakukan.  

Untuk menghindari penyebaran berita hoaks pemerintah sebagai penangungjawabnya khususnya kementerian informatika dan kementerian dalam negeri yang memiliki otoritas sampai tingkat kelurahan. Pusat inilah yang bertanggungjawab menyebar luaskan informasi tentang COVID 19 secara sah dan legal. Dan diharapkan aksesnya dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, untuk masyarakat juga diharapkan mengikuti anjuran pemerintah. STOP hoaks, STOP SHARE berita hoaks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline