Lihat ke Halaman Asli

X Soni Harsono

Pengusaha Persewaan Alat Komunikasi

Analisa Konsep Judicial Restrain di Indonesia

Diperbarui: 30 Juni 2024   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Judicial restraint salah satu doktrin yang berkembang di Amerika yang implementasi dari penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Doktrin judicial restraint, pengadilan harus bisa melakukan pengekangan diri dari keterkepihaan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah "miniparliament". Judicial restraint (pembatasan yudisial) adalah upaya hakim atau pengadilan untuk membatasi diri dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers). Hal ini berarti bahwa judicial restraint bagian upaya kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara-perkara yang akan dapat mengganggu kekuasaan yang lain.

Mahkam Konstitusi (MK)  menerapkan asas judicial restraint dalam Putusan Nomor 85/PUU-XVI/2018 dan Nomor 30/PUU-XIII/2015. Judicial restraint adalah prinsip yang mengharuskan pengadilan atau mahkamah untuk menahan diri  membuat putusan yang bersinggungan dengan kewenangan legislatif. Berdasarkan Nomor 85/PUU-XVI/2018 dan Nomor 30/PUU-XIII/2015, MK menerapkan prinsip tersebut dengan alasan bahwa Pasal 31A ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung adalah open legal policy, sedangkan pasal yang sedang diuji tidak memiliki persoalan konstitusional norma. Dalam putusan Mahkama Konstitusi tentang penerapan judical restain, MK lebih memilih untuk menjadi negative legislator dengan menerapkan asas judicial restraint. Karena Mahkamah Konstitusi berpendapat dengan dua hal yaitu :

  • Mahkamah Konstitusi (MK) mendalilkan bahwa pengaturan Pasal 31A ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung (MA) adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Sehingga tidak memungkinkan bagi Mahkamah Konstitusi menilai hal tersebut kecuali menyatakan hal tersebut konstitusional. Berbagai pengujian open legal policy hampir semuanya berakhir dengan tidak dikabulkannya permohonan tersebut. Hal ini juga ditegaskan dalam Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017, MK berpendirian bahwa open legal policy tidak dapat diuji konstitusionalitasnya. Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa open legal policy dan asas judicial restraint dapat ditinggalkan dengan syarat jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang  bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta bertentangan dengan UUD NRI 1945.
  • Hilangnya kepastian hukum di mana para pihak tidak mengetahui bagaimana proses pengadilan dijalankan. Proses peradilan yang menghadirkan para pihak dan terbuka untuk umum adalah untuk menghindarkan proses peradilan yang gelap dan tertutup. Hal ini tidak terlepas dari ketidaktahuan para pihak bagaimana proses itu dilakukan. Selain itu, hal ini juga menghadirkan nuansa bisik-bisik selama proses peradilan yang ke semua itu menghilangkan kepastian hukum selama proses peradilan berlangsung Hal ini ditakutkan melahirkan dugaan adanya main mata dari pihak tertentu ketika persidangan dilaksanakan secara tertutup.

Dari urain diatas, judical restain semestinya diatur dalam perundang-undangan, melalui undang-undang kekuasaan kehakiman. Agar menjadi pijakan bagi hakim dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya. Dengan pengaturan undang -undang, hakim tetap memiliki ruang untuk menafsirkan hukum secara pasti untuk terwujudnya keadilan yang jelas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline