Sejatinya, tulisan saya ini sudah muncul di kepala saya sehabis melihat pertandingan Piala Dunia 2022, Timnas Argentina yang harus tunduk oleh Timnas Arab Saudi di hari perdana pertandingan grup C tanggal 22 Nopember 2022.
Sebagai penggemar, saya sempat merasa bad mood selama beberapa jam karena saya tahu kalau Piala Dunia ini akan menjadi event besar terakhir Lionel Messi bersama Timnas Argentina dan saya hanya tidak ingin melihat Messi sedih saja.
Seperti yang saya tulis di tulisan sebelumnya, Bapak saya yang mengenalkan Piala Dunia pada saya. Piala Dunia saya yang saya sempat ikuti pertama kali adalah Piala Dunia 1998 yang diadakan di Prancis, tapi karena kala itu saya masih kecil dan Bapak tidak menyediakan televisi di rumah, jadinya orang tua saya melihatnya nobar di kafe.
Ketika Piala Dunia 2002, saya yang tumbuh dengan banyak teman perempuan, menganggap sepak bola sebagai dunia laki-laki saja. Saya hanya tahu sedikit informasi soal Piala Dunia karena tulisan dari koran dan Majalah Bobo.
Ketika tahun 2006, ketertarikan saya pada Piala Dunia meningkat seiring dengan bertambahnya umur, kala itu saya masih SMP dan senang sekali membeli majalah-majalah cewek macam Gadis, Kawanku, Go Girl, sampai Cosmo Girl.
Nah, majalah-majalah ini kadang-kadang memprofilkan atlit atau pembalap yang dianggap eye candy bagi gadis remaja. Mereka mengulas beberapa pemain yang masuk kategori itu, ada Christian Ronaldo, Lukas Podolski, Fabregas, Modric, dan Lionel Messi.
Messi yang umurnya baru 18 tahun termasuk cute pada waktu itu. Awalnya saya penasaran saja karena dia disebut-sebut sebagai The Next Maradona. Saya menjadi ngefans ketika melihat dia main perdana dan berhasil mencetak gol yang memenangkan Argentina 6-0 lawan Serbia dan Montenegro. Di saat yang bersamaan, saya akhirnya mendukung Timnas Argentina.
Dukungan saya tidak salah karena Messi menjadi salah satu pemain terbaik dunia. Kegiatan fangirling saya makin menggila ketika saya melanjutkan pendidikan di Pesantren dan bertemu dengan beberapa teman perempuan yang lebih gila bola: ada yang suka Lukas Podolski, ada penggemar Frank Lampard dan Michael Ballack, dan ada yang suka klub sepak bola Chelsea dan menunjukkannya dengan seprai dan mug bergambar klub bola itu.
Karena terbatasnya teknologi, kita tidak pernah melihat pertandingan bola di dalam pesantren, tapi karena ada koran, jadinya saya mengikuti perkembangan Messi melalui koran saja. Kebetulan, majalah olah raga diperbolehkan untuk punya di dalam asrama, jadinya saya punya beberapa majalah atau tabloid olah raga yang ada Messi-nya.
Terkadang saya juga mengobrol soal sepak bola dengan teman-teman saya itu dan saya jadi tahu kalau sepak bola itu bersifat universal.