Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 telah memicu beragam reaksi di masyarakat. Langkah ini diambil sebagai bagian dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang sebelumnya menetapkan tarif PPN sebesar 11% yang mulai berlaku pada April 2022. Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif PPN ini diperlukan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBB), karena PPN merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Ditjen Pajak (DJP) mengklaim manfaat dari kenaikan tarif PPN ini akan dinikmati oleh masyarakat. Walaupun pemerintah beragumen bahwa kenaikan PPN memang diperlukan, kenaikan ini berpotensi merugikan daya beli masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih rentan pasca-pandemi.
Pada dasarnya, fungsi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mirip dengan pajak lainnya, yaitu untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendanai program-program yang diterapkan pemerintah. PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai barang atau jasa dalam peredarannya ke konsumen. Maksudnya, konsumen sebagai pihak penanggung pajak tidak langsung menyetorkan pajak yang dibayar kepada negara, melainkan pedagang atau pengusaha lah yang bertanggung jawab melapor. Sejak kali pertama UU Nomor 8 Tahun 1983 berlaku, tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 10 persen. Namun, tarif ini berubah menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 setelah pemerintah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 29 Oktober 2021. Sesuai kebijakan baru tersebut, nantinya tarif PPN akan dinaikkan untuk kedua kalinya menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Pemberlakuan kenaikan tarif tersebut membawa dampak negatif, terutama bagi sektor perekonomian yang langsung berhubungan dengan konsumen. Salah satunya, harga barang dan jasa yang semakin mahal akibat kenaikan PPN bisa menurunkan daya beli masyarakat. Banyak orang yang sudah terbebani dengan biaya hidup yang tinggi, masyarakat Indonesia sedang tidak berada dalam kondisi yang mampu untuk menanggung dampak kenaikan PPN tersebut. Hal ini bisa membuat konsumsi masyarakat turun, karena orang cenderung lebih berhati-hati dalam pengeluaran mereka. Selain itu, pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), bisa kesulitan menyesuaikan harga jual mereka, yang mungkin membuat mereka kehilangan pelanggan.
Menurut Sri Mulyani, penerapan PPN dengan tarif 12% sudah tepat dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian negara Indonesia saat ini. Penerimaan pajak dari PPN akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik dan subsidi terhadap masyarakat lapisan menengah ke bawah. Sehingga kenaikan tersebut dapat diimbangi dengan insentif yang diterima. Akan tetapi, daripada menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah dapat mempertimbangkan menerapkan pajak yang adil, alih-alih meningkatkan PPN. Dengan itu, pemerintah dapat meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat lebih lanjut.
Demi mencapai keseimbangan yang optimal antara peningkatan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus diimplementasikan dengan sangat hati-hati. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah transparansi dalam penggunaan dana pajak. bahwa setiap rupiah yang dihasilkan dari PPN akan digunakan secara efisien dan tepat sasaran, terutama untuk program-program yang langsung berdampak pada kesejahteraan rakyat. Dengan itu, penting untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan melalui dialog terbuka dan partisipatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H