Saya punya idola baru. Namanya agak sulit dilafalkan namun begitu gampang melekat di hati. Jacinda Kate Laurell Ardern, sering disebut Jacinda Ardern saja. Perdana Menteri Selandia Baru ini bukan hanya memiliki wajah yang ayu di depan tetapi hati yang jauh lebih cantik lagi di dalam. Setelah penembakan barbar dan brutal dari penganut kepercayaan supremasi kulit putih di dua masjid di Christchurch, tak henti-hentinya usahanya untuk membuat Selandia Baru aman kembali.
Jumat pertama setelah penembakan, PM termuda ini dengan mengenakan kerudung hitam, terus-menerus menyuarakan pernyataan antiteror. Dia mengeluarkan kebijakan untuk menarik kembali senapan buru dan semi otomatis dari seluruh negeri elok ini. Dia bahkan ogah menyebutkan nama teroris itu karena tidak ingin membuatnya semakin dikenal. Bukankan salah satu tujuan teror adalah melakukan sounding sebanyak mungkin agar didengar?
Masyarakat Selandia Baru rupanya mendukungnya. Rantai manusia dan gang motor di sana membuat pagar yang kuat di sekitar masjid untuk memastikan orang-orang Islam di Selandia Baru bisa beribadah dengan tenang dan damai. Menyaksikan fotonya saja membuat hati saya bergetar.
Getaran yang sama saya rasakan dalam tiga peristiwa yang berbeda. Getaran pertama saya rasakan saat berkunjung ke museum Holocaust. Lantai lobby museum itu terbuat dari kaca tebal sehingga saya dan istri bisa melangkah di atasnya. Yang membuat hati kami ngeri, di bawahnya terserak dalam jumlah besar sepatu wanita berbagai ukuran. Artinya, bocah perempuan pun menjadi korban pembantaian Nazi Hitler atas orang Yahudi pada saat itu.
Getaran kedua saya alami ketika berada di monumen 911 di New York. Lubang bekas reruntuhan Twin Tower yang diterjang dua pesawat yang dibajak teroris itu, dibiarkan menganga: lebar dan dalam. Saya tidak tahu berapa kedalamannya karena di lubang itu mengalir air terjun yang terus-menerus 'mengisinya' tanpa pernah penuh. Air yang mengalir ini seakan-akan menggambarkan bahwa hati yang membara karena dendam harus terus-menerus disejukkan dengan air pengampunan.
Jika di museum Holocaust, begitu memasukinya, kita disambut kegelapan dengan diiringi penyebutan nama demi nama para korban ethnic cleansing, di monumen peringatan peristiwa tragis 911, dua lubang menganga itu dipagari dengan tembok beton yang di luarnya diukir nama-nama korban.
Getaran ketiga saya alami saat berada di depan Tugu Peringatan Bom Bali. Di sana saya menyaksikan orang Bali asli berbaur dengan wisatawan---khususnya asal Australia---menabur bunga, bahkan sujud sembahyang. Begitu menyentuh.
Sentuhan yang sama saya rasakan saat membaca tulisan Saras Dewi di JP berjudul "Melampaui Kebencian". Menyitir karya Miftah Faridi, Belajar Ikhlas dari Para Penyintas, Saras menceritakan pergumulan dua anak manusia yang 'saling bermusuhan'. Pihak pertama diwakili Hayati Eka Laksmi yang bersama anak-anaknya merupakan keluarga korban Bom Bali, suami dan ayah mereka ikut terpanggang panasnya bom jahanam itu. Di sisi lain, ada Zulia Mahendra yang merupakan putra Amrozi yang dijatuhi hukuman mati akibat ulah teror yang dilakukannya. Masa remajanya diwarnai perasaan yang campur aduk karena perundungan yang dia alaminya sebagai putra teroris.
Hayati bahkan ingin ikut Densus 88 agar bisa membalas dendam kematian suaminya, Zulia pernah ingin mengikuti wasiat ayahnya. Namun, cinta terhadap sesama menghancurkan dendam keduanya. Di satu sisi, Hayati bisa melepas pengampunan. Di sisi lain, Zulia bisa terbebas dari rasa dikucilkan masyarakat karena menyandang status anak Amrozi.
Perjumpaan dua hati yang saling luluh itu terjadi di depan monumen bom Bali di Kuta. Di depan monumen itulah mereka saling rangkul dan saling bertukar tangis. Kini Hayati bahkan menganggap Zulia Mahendra sebagai anaknya. Happy ending yang luar biasa bukan?
Itulah makna kasih sejati. Saat kasih ilahi menyirami nurani, bunga persaudaraan berkembang. Dari kembang kasih sayang inilah menguar harapan yang membawa kesejukan: indahnya persaudaraan.