Lihat ke Halaman Asli

Inikah Sumber Dana MUI? (Please, dech)

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin sempat baca artikel di Kompasiana berjudul Inikah Sumber Dana MUI? yang ditulis oleh salah seorang sahabat kompasiana bernama Om Raden.  Bagi yang belum baca saya akan salin ulang tulisanya sebagai berikut :

"""

Apakah Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan badan publik dan karena itu harus transparan? Jika iya, apakah MUI sudah cukup transparan, khususnya dalam hal laporan keuangan?

MUI hampir tak pernah luput dari perhatian publik. Lembaga ini selalu diperbincangkan tiap kali muncul persoalan yang berkaitan dengan ajaran dan umat Islam di Indonesia. Belakangan, ketika persoalan terorisme kembali menyeruak, MUI disenggol-senggol pula.

Meski demikian, dua pertanyaan yang saya lontarkan di awal tulisan ini sepertinya jarang terlontar di ruang publik.

Saya pernah berbincang dengan seorang peneliti yang sedang menyusun buku di mana MUI sebagai salah satu bahasannya. Dia mengatakan bahwa MUI merupakan organisasi yang terkesan tertutup. Ada beberapa informasi yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, seperti informasi mengenai sumber pendanaan MUI.

Karena tidak berhasil mendapat informasi tersebut dari sumber-sumber resmi, baik melalui studi dokumentasi maupun wawancara, si peneliti kemudian berburu informasi melalui sumber tidak resmi. Artinya, sumber itu bukan pengurus MUI tapi dia tahu seluk-beluk MUI.

Si peneliti kemudian mengambil kesimpulan bahwa MUI mendapat dana dari tiga sumber utama. Pertama, dari sertifikasi halal. MUI punya sayap organisasi bernama LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika). LPPOM inilah yang mengeluarkan sertifikat halal, setelah melakukan pengujian terhadap produk-produk tertentu yang akan dikonsumsi masyarakat, khususnya umat Islam. Sertifikasi halal ini tidak gratis. Soal seberapa besar biayanya, hanya LPPOM MUI dan produsen yang jadi klien yang tahu.

Kedua, dari perbankan atau lembaga keuangan syariah. MUI memiliki sayap organisasi bernama Dewan Syariah Nasional (DSN MUI). Di antara tugas DSN MUI ialah mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

Di setiap bank atau lembaga keuangan syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS). Nah, DSN MUI berwenang memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah. Dari sinilah salah satu sumber pendanaan MUI mengalir.

Ketiga, dari Kementerian Agama. Sumber pendanaan yang ini sifatnya semi-legal. Artinya, di satu sisi ada campur tangan penyelenggara negara, di sisi lain MUI bukanlah organ resmi negara.

Persoalan sumber dana ini sangat penting dibahas, sebab salah satu tolok ukur suatu lembaga disebut sebagai badan publik atau bukan ialah sumber dana yang diperoleh lembaga itu.

Karena MUI mendapatkan dana dari APBN melalui Kementerian Agama, juga dari partisipasi masyarakat melalui DSN dan LPPOM, tidak salah bila MUI dikategorikan sebagai badan publik.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menyatakan bahwa Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu parameter suatu organisasi disebut badan publik jika sebagian atau seluruh dananya berasal dari negara, entah APBN maupun APBD, atau dari sumbangan masyarakat atau dari luar negeri.

Pertanyaan yang bisa diajukan di sini: Apakah MUI mempublikasikan sumber dana, jumlah dana yang diterimanya dan alokasi dana tersebut?

Menurut Pasal 9 UU KIP, informasi mengenai laporan keuangan merupakan informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala. Pengumuman itu setidaknya dilakukan 6 bulan sekali. UU KIP mewajibkan informasi tersebut disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.

MUI memiliki situs resmi. Sejauh ini MUI belum pernah mempublikasikan laporan keuangannya melalui situs resmi miliknya. Padahal, situs internet tergolong mudah dijangkau masyarakat. Tentu, menyebarluaskan informasi melalui internet selaras dengan semangat UU KIP yang menghendaki informasi publik disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau masyarakat.

Apakah MUI menganggap laporan keuangannya, khususnya mengenai sumber dan alokasi dana, termasuk informasi rahasia yang tidak boleh diketahui publik?

Jika memang demikian, berarti MUI termasuk badan publik yang tidak mau transparan. Lantas apa bedanya MUI dengan FPI atau NII?""""

Saya akan buat tanggapannya di sini :

1. Menurut saya (mohon maaf kalo salah ya om raden) penulis sudah punya perasaan tidak senang dengan MUI.....

2. Soal transparansi dana, pertama dana dari sertifikasi halal ............MUI melalui LPPOM memang punya kewenangan untuk  mengeluarkan sertifikasi halal. Dan memang Serrtifikasi halal ini tidak gratis, dan memang hanya LPPOM MUI dan produsen yang hendak mendapatkan sertifikat saja yang tahu besarnya karena tidak ada standarnya .....Kenapa tidak gratis..... LPPOM MUI kan tidak hanya terdiri dari Ulama tapi juga profesional di bidang pangan dan kimia (baik dari universitas maupun peneliti) ......yang namanya profesional kan dibayar ....apalagi Labnya kadang masih bekerja sama dengan Perguruan Tinggi (semisal IPB, UGM, dll) .....kenapa tidak standar biayanya .......sebagai contoh : kalo ada produsen susu UHT ingin mendapatkan sertifikasi halal, maka MUI paling hanya meneliti kandungan susunya saja, bandingkan dengan produsen kornet daging sapi , maka MUI harus meneliti bumbunya (mengandung bahan haram tidak), dagingnya (sapi beneran atau tidak, bisa jadi babi), bahkan harus dirunut hingga penyembelihan sapinya (sesuai syariat Islam atau tidak) ....tentu harganya tidak bisa disamakan bukan??.......Dan sampai saat ini tidak ada kewajiban dlm bentuk UU (sepengetahuan saya) bagi produsen makanan, minuman atau kosmetik untuk mendapatkan sertifikasi ini .....tp bagi saya pribadi membeli produk makanan yang sudah berlabel halal tentu akan lebih tenang menggunakannya...........

2. Soal Dewan SyariahNasional ....saya tidak bisa berkomentar karena tidak tahu menahu sedikitpun ....

3. Soal dana dari APBN atau APBD bagi MUI di daerah ................ penulis mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menyatakan bahwa Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Penulis mengaitkan dengan keharusan untuk mempublikasikannya .......

Untuk APBN DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran) atau DPA (Daftar Penggunaan Anggaran) untuk APBD adalah konsumsi publik .......sehingga semua orang bisa mengecek penggunaan anggarannya .....

Silakan dicek pada DIPA Kementerian Agama maka saya yakin tidak hanya MUI yang menerima kucuran dana APBN...tetapi juga NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, PHDI, Walubi dan ormas keagamaan lainnya, belum lagi pondok pesantren, paroki dll

Atau pada Kemenpora ....akan ada alokasi dana APBN untuk KONI, KOI, induk olahraga seperti PSSI, PBSI, ISSI, PBVSI, dll............alokasi untuk ormas kepemudaan misal KNPI, Karang Taruna bahkan dimungkinkan termasuk organisasi Mahasiswa semisal HMI, KAMMI, PMKRI, GMNI dll

Pada Kementerian Pertanian .....ada alokasi APBN untuk organisasi semisal HKTI, KTNA, HNSI, PPNSI dll ...bahkan KEMENTAn punya porgram LM3 (Lembaga Mandiri Mengakar Masyarakat) yang memberi bantuan kepada pondok pesantren, paroki dan sejenisnya yang memiliki gerakan pada pengembangan agribisnis

Intinya semua Kementerian / Lembaga Non Kementerian biasannya memiliki pos anggaran untuk lembaga di luar pemerintah (biasanya dalam bentuk hibah)

Belum kalau bicara APBD ..... Sama juga, bahkan sampai menjangkau desa dan RT melalui anggaran Bansos...... Berapa banyak Pengurus Masjid, Pengurus Gereja dll yang meminta bantuan melalui proposal Bansos kepada  anggaran pemerintah???? Berapa banyak LSM, Kelompok tani, organisasi mahasiswa intra kampus (BEM, HMJ dll) ekstra kampus (HMI, KAMMI, PMKRI, dll)  yang juga mengajukan proposal bantuan melalui anggaran APBD baik Prov maupun KAB ..........belum lagi pengurus RT yang minta bantuan pengaspalan jalan .....

Ada ribuan organisasi, lembaga di luar pemerintah yang mendapatkan dana APBN /APBD, tapi penulis mempermasalahkan transparansi pengelolaan dana MUI dengan kalimat

""""Apakah MUI menganggap laporan keuangannya, khususnya mengenai sumber dan alokasi dana, termasuk informasi rahasia yang tidak boleh diketahui publik?""

bahkan membandingkan MUI dengan FPI dan NII  pada kalimat

""""Jika memang demikian, berarti MUI termasuk badan publik yang tidak mau transparan. Lantas apa bedanya MUI dengan FPI atau NII?""""

Sekarang saya hanya ingin bertanya terbuka saja ...... dari ribuan penerima dana APBN / APBD (berarti disebut juga badan publik) berapa yang sudah mempublikasikan secara rutin 6 bulan sekali sesuai amanat UU KIP???

kalao mengambil logika penulis maka semua lembaga (yang jumlahnya bejibun tadi) maka bedanya apa lembaga tadi dengan FPI atau NII???

Saya yakin banyak yang tidak suka dengan MUI (beda dengan s aya yang masih hormat thd MUI), tp menyamakan dengan FPI apalagi NII dengan alasan tidak menaati UU KIP adalah konyol ............bahkan POLRI pernah digugat dengan memakai UU KIP untuk membocorkan rekening gendut perwiranya (sat kasus rekening gendut perwira POLRI merebak)  saja sampai sekarang masih menolak ??? Apa POLRI sama dengan FPI atau NII ...........

Salam KOmpasiana...............salam damai...............buat Om raden penulis artikel yang saya tanggapi. mohon maaf kalao ada yang kurang berkenan pada kata kata saya.............

Wassalam ...................hehe akhirnya menulis lagi sejak bulan OKTOBER 2010 ...............

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline