Tanggal 5 Nopember lalu para pejabat dan kalangan pencinta lingkungan memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Sedikit meluruskan, nama ini bukanlah nama yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1993 sebagai aturan asalnya. Keppres tersebut sesungguhnya menetapkan jenis satwa dan bunga nasional saat itu, yaitu Komodo (varanus komodoensis) sebagai satwa nasioanl, Ikan Siluk Merah (sclerophages formosus) sebagai satwa pesona, dan Elang Jawa (spizaetus bartelsi) sebagai satwa langka. Sedangkan bunga nasional meliputi Melati (jasminum sambac) sebagai puspa bangsa, Anggrek Bulan (palaenopsis amabilis) sebagai puspa pesona, dan Padma Raksasa (rafflesia arnoldi) sebagai puspa langka. Keppres juga tidak menetapkan tanggal 5 Nopember sebagai peringatan rutin hari satwa dan bunga nasional, didalamnya hanya mengamanatkan para pejabat Presiden untuk mengambil langkah dalam meningkatkan cinta dan kepedulian satwa dan bunga nasional.
Pilihan penulis memilih satwa menjadi tema karena populasi kekayaan hayati (biological diversity) satwa liar (wildlife) dilindungi dan terancam punah (threatend of extinction) semakin berkurang saja dan cenderung memburuk karena perburuan liar dan perdagangan ilegal para sindikat, deforestasi akibat pembalakan liar yang ditunggangi para cukong dan oknum aparat, serta kebijakan alih fungsi hutan pejabat daerah dan pusat. Larangan dan sanksi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya nyatanya tidak menyurutkan pelaku kejahatan konservasi. Vonis majelis hakim pengadilan terbukti tidak membuat efek jera.
Sederet peristiwa meramaikan peringatan hari lingkungan ini. Dalam tatanan konseptual, mendahului hajatan tersebut Kementerian Lingkungan Hidup mengadakan Lokakarya Nasional bertema "Keanekaragaman Hayati Sebagai Modal Dasar Pembangunan" tanggal 30-31 Oktober 2013 yang menghadirkan Prof. Dr. Emil Salim. Lembaga ini juga menetapkan Hiu Gergaji (pristis microdon) dan Pohon Sagu (metroxylon sago) sebagai icon satwa dan puspa nasional tahun 2013, mengusung tema edukatif dan persuasif namun terkesan klise : "Puspa dan Satwa Sahabat Kita Bersama, 'Stop' Kepunahannya".
Kebijakan Oportunis Vs Protektif
Menarik dicermati respon dan kebijakan beberapa pejabat mengenai kekayaan hayati ini. Menarik, karena dalam pengamatan penulis 2 pasang pejabat membuat kebijakan sama tetapi masing-masing nampaknya berbeda motif. Pasangan pertama memanfaatkan "kesempatan" ini dalam aksi simbolis (baca : musiman), sehingga terkesan reaktif, menebar citra dan pesona. Sementara pasangan kedua justru terkesan acuh dengan peringatan tahunan itu, namun justru melakukan kebijakan konkrit jangka penjang bagi penyelamatan satwa.
Pasangan pertama tersebut adalah Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Kehutanan. Khusus Gubernur, nampaknya pejabat nomer satu Jawa Tengah ini baru sadar dan peduli terhadap satwa liar, dengan "mengembalikan" koleksi 4 burung di rumah dinasnya, Puri Gedeh, yaitu Kakatua Jambul Kuning, Kakatua Jambul Jingga, dan Kasuari kepada BKSDA. Lain lagi dengan Menteri Kehutanan, yang berinisiatif memindahkan Melanie, Harimau Sumatera, ke Taman Safari Indonesia setelah kritis dan tidak terurus, bahkan diketahui mengonsumsi makanan formalin di Kebun Binatang Surabaya. Lembaga konservasi ex-situ ini pengelolanya dikenal luas rajin berkonflik sehingga banyak koleksi satwanya kurang terurus, berpenyakit, bahkan mati.
Pasangan kedua adalah Gubernur dan Wakil Gubernur DKI. Tidak tanggung-tanggung, Pemprov DKI menggunakan 4 peraturan perundangan melarang atraksi topeng monyet karena alasan kesehatan masyarakat/lingkungan dan perlakuan yang tidak berperikemonyetan. Peraturan itu adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan, Undang-Undang No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Perda No. 11 Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rabies dan Pencegahan dan Penanggulangan Rabies, dan Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Sedangkan Wakil Gubernur mulai mengampanyekan larangan perdagangan sirip hiu terhadap rumah makan dan restoran. Tercatat bahwa Indonesia adalah negara penangkap hiu terbesar di dunia (disini).
Penyebab Yang Berkelanjutan Dan Vonis Ringan
Masalah dan hambatan bagi perlindungan dan konservasi satwa langka dan terancam punah nampaknya semakin masif dan pelik. Tidak hanya di lingkungan aslinya (in situ), tapi juga di luar lingkungan aslinya (ex situ). Fakta-fakta tersebut misalnya :
1. Deregulasi alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan permukiman yang memperkecil luas habitat sehingga menimbulkan kontestasi manusia dengan satwa. Kemarahan aktor Harrison Ford yang dianggap melanggar kesopanan dan etika saat hadir di Kementerian Kehutanan sesungguhnya akibat temuan fakta luas deforestasi 43 ribu hektar dari 83 ribu luas Taman Nasional Tesso Nilo yang sebagian besar dibuka untuk kelapa sawit (disini). Disharmoni kebijakan dan sikap egosentris antar instansi juga ikut memperburuk kebijakan habitat bagi satwa, dengan diperluasnya Taman Nasional tersebut pada tahun 2007 sebesar 100.000 hektar berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No. 522.Ekbang/66.30, tanggal 22 Nopember 2007, dari luas sebelumnya sebesar 188.000 hektar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 10258/ Kpts-II/2002 tanggal 13 Desember 2002 jo No 282/Kpts- II/2003 tanggal 25 Agustus 2003 (disini). Di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Komodo Kabupaten Manggarai Barat, 22 Izin Usaha Pertambangan dari Pemerintah Kabupaten dibekukan sementara setelah ditentang tokoh agaman dan masyarakat luas karena melakukan ekplorasi di perbatasan taman nasional habitat komodo (Tambang, Vol. 8, No. 96/Juni 2013).
2. Praktik buruk perlakuan pengelola lembaga konservasi ex situ terhadap koleksi satwa ternyata tidak hanya terjadi di Kebun Binatang Surabaya. Investigasi harian ibukota mengungkap indikasi kuat perdagangan gelap yang terjadi di Kebun Binatang Ragunan ke Pasar Pramuka (disini). Berita lain menyebutkan, 2 orang oknum tentara di Aceh divonis 2 bulan pidana penjara karena terbukti memelihara harimau dan menyimpan kulit harimau. Tidak cuma itu, sejumlah satwa liar dilindungi seperti Harimau Sumatera, Owa Jawa, Lutung Jawa, Siamang, Ayam Merak dan Rusa Timor malah menjadi koleksi di lokasi Villa 99, Kampung Bojonghonje, Gunung Geulis, Bogor.